Tuesday 17 November 2015

STANDAR KOMPETENSI GURU PROFESIONAL (Bagian 2)



Kompetensi Kepribadian
 Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, disiplin, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Sedangkan menurut M.A. May, bahwa kompetensi kepribadian itu meliputi kemampuan antara lain: (1) memiliki kepribadian yang mantap dan stabil, (2) memiliki kepribadian yang dewasa, (3) memiliki kepribadian yang arif, (4) memiliki kepribadian yang berwibawa, dan (5) memiliki akhlak mulia dan dapat menjadi teladan.
Kepribadian guru memang memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pendidikan, khususnya dalam kegiatan pembelajaran. Karena akan mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan pembentukan kepribadian peserta didik. Ini dapat dimaklumi, karena manusia merupakan makhluk yang suka mencontoh, termasuk mencontoh pribadi gurunya sebagai teladan. Oleh karena itu wajar, ketika orang tua akan mendaftarkan anaknya ke suatu sekolah, akan mencari tahu terlebih dahulu siapa guru-guru yang akan membimbing dan mendidik anaknya.

STANDAR KOMPETENSI GURU PROFESIONAL (Bagian 1)

Standar Kompetensi Guru
Kompetensi berarti suatu hal yang menggambarkan kualifikasi dan kemampuan  seseorang,  baik  yang   bersifat   kualitatif  maupun  kuantitatif. Kompetensi guru (teacher competency) merupakan kemampuan dan kewenangan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban profesinya di bidang pendidikan secara bertanggung jawab dan layak. Sedangkan dalam Undang-Undang Guru dan Dosen disebutkan, bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.

Kompetensi guru tersebut harus terstandarkan secara nasional, sehingga ada ukuran-ukuran dan kriteria-kriteria ambang batas minimal kemampuan tertentu yang harus dimiliki serta dikuasai oleh seorang guru, yang selanjutnya dapat diadakan penilaian secara obyektif untuk penjaminan serta pengendalian mutu guru khususnya dan pendidikan pada umumnya (misalnya: dengan sertifikasi guru dalam jabatan).

Kepemimpinan Dalam Perspektif Al Quran




وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim".
(QS. Al Baqarah ayat 124)

Kepemimpinan dalam konsep Al-Qur’an disebutkan dengan istilah Imamah, pemimpin dengan istilah imam. Al-Qur’an mengkaitkan kepemimpinan dengan hidayah dan pemberian petunjuk pada kebenaran. Seorang pemimpin tidak boleh melakukan kezaliman, dan tidak pernah melakukan kezaliman dalam segala tingkat kezaliman: kezaliman dalam keilmuan dan perbuatan, kezaliman dalam mengambil keputusan dan aplikasinya. Seorang pemimpin harus mengetahui keadaan umatnya, merasakan langsung penderitaan mereka. Seorang pemimpin harus melebihi umatnya dalam segala hal: keilmuan dan perbuatan, pengabdian dan ibadah, keberanian dan keutamaan, sifat dan perilaku, dan lainnya. Al-Qur’an menjelaskan bahwa seorang pemimpin tidak pantas mendapat petunjuk dari umatnya, seorang pemimpin harus berpengetahuan dan memperoleh petunjuk sebelum umatnya. Bahkan Al-Qur’an menegaskan seorang pemimpin harus mendapat petunjuk langsung dari Allah swt, tidak boleh mendapat petunjuk dari orang lain atau umatnya.
Bahwasanya dalam surat Al Baqarah ayat 124 mengisyaratkan bahwa kepemimpinan dan keteladanan harus berdasarkan keimanan dan ketaqwaan, pengetahuan dan keberhasilan dalam aneka ujian. Karena itu kepemimpinan tidak akan dapat dianugerahkan oleh Allah kepada orang-orang yang  zalim, yakni yang berlaku aniaya. Dalam ayat ini menjelaskan salah satu perbedaan yang menunjukkan ciri pandangan Islam tentang kepemimpinan dengan pandangan-pandangan yang lain. Islam menilai bahwa kepemimpinan bukan hanya sekedar kontrak sosial, yang melahirkan janji dari pemimpin untuk melayani yang dipimpin sesuai kesepakatan bersama, serta ketaatan dari yang dipimpin kepada pemimpin, tetapi juga harus terjalin hubungan harmonis antara yang diberi wewenang memimpin dengan Tuhan. Yaitu berupa janji untuk menjalankan kepemimpinan sesuai dengan nilai-nilai yang diamanatkan-Nya.
Dalam ayat ini diterangkan bahwa kepemimpinan dalam Islam lebih kepada anugerah bukan kepada upaya manusia. Dan tidak mungkin Allah memilih seorang yang zalim sebagai seorang pemimpin. Karakter pemimpin haruslah baik yang meliputi aspek kepribadian dan kemampuan sosial. Kepribadian yang dimiliki seorang pemimpin yang dimaksud tentunya tidak zalim seperti yang tercantum dalam QS Al Baqarah ayat 124.

Dari penjelasan surat AL-Baqarah ayat 124 diatas dapat kita ambil pelajaran:
·     Sebagai seorang pemimpin harus rela berkorban baik secara lahir maupun batin.
·     Untuk menjadi pemimpin yang baik harus tabah dan sabar menahan cobaan dan ujian yang menghadang.
·    Seorang pemimpin harus aktif  yakni mengetahui keadaan umat dan merasakan langsung penderitaan rakyatnya., dan seorang pemimpin harus melebihi umatnya dalam segala hal (keilmuan dan perbuatan, pengabdian dan ibadah, keberanian dan keutamaan, sifat dan perilaku, dan aspek lainnya).
·     Orang  yang zalim tidak akan dijadikan pemimpin.

Pemimpin dalam Islam mempunyai beberapa ciri-ciri, diantaranya :
·     Niat yang ikhlas
·     Laki-laki
·     Tidak meminta jabatan
·     Berpegang dan konsisten pada hukum Allah
·     Memutuskan perkara dengan adil
·     Senentiasa ada ketika diperlukan
·     Menasehati rakyat
·     Tidak menerima hadiah
·     Mencari pemimpin yang baik
·     Lemah lembut
·     Tidak meragukan rakyat
·     Terbuka untuk menerima ide dan kritikan.

Tuesday 10 November 2015

Manajemen Sumberdaya Manusia Kontemporer (ADRIAN WILKINSON & TOM REDMAN)

ADRIAN WILKINSON & TOM REDMAN

Manajemen Sumberdaya Manusia Kontemporer

Teks dan Kasus

Edisi Keempat

Bagian 1
Dasar-Dasar Manajemen Sumberdaya Manusia

Bab 1
Manajemen Sumberdaya Manusia: Sebuah Perspektif Kontemporer
Tom Redman dan Adrian Wilkinson

Pendahuluan
Buku ini membahas tentang sumberdaya manusia dan berkutat pada cara yang mana berbagai organisasi mengelola sumberdaya manusianya. Dalam bab pendahuluan ini kami membahas pendekatan kami sendiri terhadap studi HRM / Manajemen Sumberdaya Manusia dan alasan yang menjadi dasar penyusunan dan presentasi dari materi di dalam buku ini. Tujuan kami adalah untuk memetakan luasnya ranah dari bidang studi yang berkembang saat ini untuk menyiapkan pembaca atas perlakuan yang lebih khusus pada topik-topik HRM secara spesifik yang akan ditemukan pada tiap bab di dalam buku ini. Secara khusus, kami meneliti peningkatan HRM, efek dari perubahan konteks kerja pada HRM, apa yang dilibatkan HRM pada sifat strategis dari praktik HRM, dampaknya pada performa organisasional dan perubahan peranan dari fungsi HRM. Bab ini disimpulkan dengan pertimbangan pada pandangan kami terhadap audiens yang merupakan target dari buku ini dan sejumlah pemikiran mengenai bagaimana penerapan terbaik dari hal tersebut.

Monday 9 November 2015

Sejarah singkat Imam Syafi’i (Bagian 5 - terakhir)



Pergi ke Iraq yang ke Tiga Kali.
Di Mekkah sudah didengar kabar wafatnya Khalifah Harun ar Rasyid dan telah digantikan oleh Khalifah aI Amin dan sesudah itu oleh Al Ma’mun. Begitu juga telah meninggal guru-guru Imam Syafi’i rahimahullah di Iraq, yaitu Abu Yusuf pada tahun 182 H. dan Muhammad bin Hasan pada tahun 188 H. Hati Imam Syafi’i tergerak kembali hendak datang ke Bagdad, Ibu Kota dan Pusat Kerajaan Ummat Islam ketika itu, karena di situ duduknya Khalifah, Amirur Mu’minin.
Beliau tidak lama di Iraq pada kali itu, tetapi pada kesempatan ini beliau membuat sejarah, yaitu membentuk madzhab tersendiri yang kemudian dinamakan “MADZHAB SYAFI’I”.

Madzhab Syafi’i yang Pertama.
Abu Abdillah Muhammad bin Idris as Syafi’i ini setelah ilmunya tinggi dan fahamnya begitu dalam dan tajam, timbullah inspirasinya untuk berfatwa sendiri mengeluarkan hukum-hukum dari Quran dan Hadits sesuai dengan “ijtihad”nya sendiri, terlepas dari fatwa-fatwa gurunya Imam Maliki dan Ulama-ulama Hanafi di Iraq. Hal ini terjadi pada tahun 198 H. yaitu sesudah usia beliau 48 tahun dan sesudah melalui masa belajar lebih kurang 40 tahun. Beliau telah menghafal al-Quran dan berpuluh ribu hadits di luar kepala dan juga telah mendalami tafsir dari ayat suci dan makna hadits-hadits serta pendapat Ulama yang terdahulu. Beliau berfatwa dengan lisan menurut ijtihadnya (pendapat) sendiri dan juga mengarangkan kitab-kitab yang berisikan pendapat-pendapatnya itu. Mula-mula di Iraq beliau mengarang kitab “ar-Risalah”, kitab UshuI Fiqih yang pertama di dunia, yakni suatu ilmu yang dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum Fiqih dari kitab suci al-Quran dan dari hadits Nabi.