Showing posts with label Islam. Show all posts
Showing posts with label Islam. Show all posts

Tuesday 17 November 2015

Kepemimpinan Dalam Perspektif Al Quran




وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim".
(QS. Al Baqarah ayat 124)

Kepemimpinan dalam konsep Al-Qur’an disebutkan dengan istilah Imamah, pemimpin dengan istilah imam. Al-Qur’an mengkaitkan kepemimpinan dengan hidayah dan pemberian petunjuk pada kebenaran. Seorang pemimpin tidak boleh melakukan kezaliman, dan tidak pernah melakukan kezaliman dalam segala tingkat kezaliman: kezaliman dalam keilmuan dan perbuatan, kezaliman dalam mengambil keputusan dan aplikasinya. Seorang pemimpin harus mengetahui keadaan umatnya, merasakan langsung penderitaan mereka. Seorang pemimpin harus melebihi umatnya dalam segala hal: keilmuan dan perbuatan, pengabdian dan ibadah, keberanian dan keutamaan, sifat dan perilaku, dan lainnya. Al-Qur’an menjelaskan bahwa seorang pemimpin tidak pantas mendapat petunjuk dari umatnya, seorang pemimpin harus berpengetahuan dan memperoleh petunjuk sebelum umatnya. Bahkan Al-Qur’an menegaskan seorang pemimpin harus mendapat petunjuk langsung dari Allah swt, tidak boleh mendapat petunjuk dari orang lain atau umatnya.
Bahwasanya dalam surat Al Baqarah ayat 124 mengisyaratkan bahwa kepemimpinan dan keteladanan harus berdasarkan keimanan dan ketaqwaan, pengetahuan dan keberhasilan dalam aneka ujian. Karena itu kepemimpinan tidak akan dapat dianugerahkan oleh Allah kepada orang-orang yang  zalim, yakni yang berlaku aniaya. Dalam ayat ini menjelaskan salah satu perbedaan yang menunjukkan ciri pandangan Islam tentang kepemimpinan dengan pandangan-pandangan yang lain. Islam menilai bahwa kepemimpinan bukan hanya sekedar kontrak sosial, yang melahirkan janji dari pemimpin untuk melayani yang dipimpin sesuai kesepakatan bersama, serta ketaatan dari yang dipimpin kepada pemimpin, tetapi juga harus terjalin hubungan harmonis antara yang diberi wewenang memimpin dengan Tuhan. Yaitu berupa janji untuk menjalankan kepemimpinan sesuai dengan nilai-nilai yang diamanatkan-Nya.
Dalam ayat ini diterangkan bahwa kepemimpinan dalam Islam lebih kepada anugerah bukan kepada upaya manusia. Dan tidak mungkin Allah memilih seorang yang zalim sebagai seorang pemimpin. Karakter pemimpin haruslah baik yang meliputi aspek kepribadian dan kemampuan sosial. Kepribadian yang dimiliki seorang pemimpin yang dimaksud tentunya tidak zalim seperti yang tercantum dalam QS Al Baqarah ayat 124.

Dari penjelasan surat AL-Baqarah ayat 124 diatas dapat kita ambil pelajaran:
·     Sebagai seorang pemimpin harus rela berkorban baik secara lahir maupun batin.
·     Untuk menjadi pemimpin yang baik harus tabah dan sabar menahan cobaan dan ujian yang menghadang.
·    Seorang pemimpin harus aktif  yakni mengetahui keadaan umat dan merasakan langsung penderitaan rakyatnya., dan seorang pemimpin harus melebihi umatnya dalam segala hal (keilmuan dan perbuatan, pengabdian dan ibadah, keberanian dan keutamaan, sifat dan perilaku, dan aspek lainnya).
·     Orang  yang zalim tidak akan dijadikan pemimpin.

Pemimpin dalam Islam mempunyai beberapa ciri-ciri, diantaranya :
·     Niat yang ikhlas
·     Laki-laki
·     Tidak meminta jabatan
·     Berpegang dan konsisten pada hukum Allah
·     Memutuskan perkara dengan adil
·     Senentiasa ada ketika diperlukan
·     Menasehati rakyat
·     Tidak menerima hadiah
·     Mencari pemimpin yang baik
·     Lemah lembut
·     Tidak meragukan rakyat
·     Terbuka untuk menerima ide dan kritikan.

Monday 9 November 2015

Sejarah singkat Imam Syafi’i (Bagian 5 - terakhir)



Pergi ke Iraq yang ke Tiga Kali.
Di Mekkah sudah didengar kabar wafatnya Khalifah Harun ar Rasyid dan telah digantikan oleh Khalifah aI Amin dan sesudah itu oleh Al Ma’mun. Begitu juga telah meninggal guru-guru Imam Syafi’i rahimahullah di Iraq, yaitu Abu Yusuf pada tahun 182 H. dan Muhammad bin Hasan pada tahun 188 H. Hati Imam Syafi’i tergerak kembali hendak datang ke Bagdad, Ibu Kota dan Pusat Kerajaan Ummat Islam ketika itu, karena di situ duduknya Khalifah, Amirur Mu’minin.
Beliau tidak lama di Iraq pada kali itu, tetapi pada kesempatan ini beliau membuat sejarah, yaitu membentuk madzhab tersendiri yang kemudian dinamakan “MADZHAB SYAFI’I”.

Madzhab Syafi’i yang Pertama.
Abu Abdillah Muhammad bin Idris as Syafi’i ini setelah ilmunya tinggi dan fahamnya begitu dalam dan tajam, timbullah inspirasinya untuk berfatwa sendiri mengeluarkan hukum-hukum dari Quran dan Hadits sesuai dengan “ijtihad”nya sendiri, terlepas dari fatwa-fatwa gurunya Imam Maliki dan Ulama-ulama Hanafi di Iraq. Hal ini terjadi pada tahun 198 H. yaitu sesudah usia beliau 48 tahun dan sesudah melalui masa belajar lebih kurang 40 tahun. Beliau telah menghafal al-Quran dan berpuluh ribu hadits di luar kepala dan juga telah mendalami tafsir dari ayat suci dan makna hadits-hadits serta pendapat Ulama yang terdahulu. Beliau berfatwa dengan lisan menurut ijtihadnya (pendapat) sendiri dan juga mengarangkan kitab-kitab yang berisikan pendapat-pendapatnya itu. Mula-mula di Iraq beliau mengarang kitab “ar-Risalah”, kitab UshuI Fiqih yang pertama di dunia, yakni suatu ilmu yang dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum Fiqih dari kitab suci al-Quran dan dari hadits Nabi.

Saturday 7 November 2015

Sejarah singkat Imam Syafi’i (Bagian 4)



Berkunjung ke Bagdad dan lain-lain.
Setelah 2 tahun di Madinah yakni dalam usia 22 tahun Imam Syafi’i rahimahullah berangkat ke Iraq (Kufah dan Bagdad), di mana beliau bermaksud selain menambah ilmu dalam soal-soal kehidupan bangsa-bangsa juga untuk menemui ulama-ulama ahli hadits atau ahli fiqih yang bertebarang pada ketika itu di Iraq dan Persia (Iran). Sebagai dimaklumi kota Kufah ketika itu adalah ibu kota tempat kedudukan Khalifah-khalifah Abu Ja’far al Mansyur dan penggantinya Khalifah Harun Ar Rasyid yang terkenal, dan Bagdad adalah pusat ilmu pengetahuan, baik pengetahuan yang datang dari Barat atau yang datang dari Timur. Memang Iraq pada zaman Harun ar Rasyid dianggap sebagai negeri tempat ilmu Pengetahuan yang memancar ke seluruh penjuru dunia sebagai yang diterangkan di atas.
Perjalanan antara Madinah dan Iraq dilakukan dengan mengendarai onta selama 24 hari. Jauh juga. Tapi Imam Syafi’i rahimahullah mendapat bekal dari gurunya lmam Malik rahimahullah sebanyak 50 dinar emas, cukup untuk belanja dan untuk menginap di situ beberapa waktu lamanya karena ongkos kendaraan-dari Madinah ke Iraq hanya 4 dinar (emas).

Tuesday 27 October 2015

Sejarah singkat Imam Syafi’i (Bagian 3)

Ketekunan Imam Syafi’i Rahimahullah dalam Belajar
Muhammad bin Idris adalah seorang pemuda yang sangat rajin dalam belajar. Ia belajar dengan sungguh-sungguh dan tekun. Sebagai dimaklumi, beliau adalah seorang pelajar yang miskin, tidak mempunyai harta yang banyak untuk biaya belajar. Beliau seorang anak yatim di mana belanjanya hanya diberi oleh ibunya yang dalam serba kekurangan pula. Tetapi Imam Syafi’i rahimahullah mempunyai keyakinan bahwa menuntut ilmu itu tidak tergantung kepada kekayaan, tetapi hanya kepada kemauan yang keras. Anak-anak miskin yang keras hati lebih banyak yang maju dibanding dengan anak-anak yang kaya, yang biasanya suka malas. Beliau mengumpulkan tulang-tulang kambing atau tulang-tulang onta, yang biasanya banyak berserakan terutama sesudah orang-orang mengerjakan haji di Mina. Beliau mengumpulkan pelepah-pelepah tamar yang kering, beliau mengumpulkan tembikar dan batu-batu yang dapat ditulis dan beliau mengumpulkan kertas-kertas yang dibuang orang-orang kantor yang dapat ditulis Iagi. Beliau mendengar ucapan guru, dikte-dikte guru lalu menuliskan di atas bahan-bahan tadi sambil memperhatikan dan menghafalnya mana yang patut dihafal.

Saturday 24 October 2015

Sejarah singkat Imam Syafi’i (Bagian 2)

Kembali ke Mekkah Al Mukarramah

Setelah usia Imam Syafi’i rahimahullah 2 tahun, ia dibawa ibunya kembali ke Mekkah al Mukarramah, yaitu kampung halaman beliau, dan tinggal di Mekkah sampai usia 20 tahun, yakni sampai tahun 170 H. Dalam angka 20 ini terdapat perbedaan-perbedaan dalam catatan sejarah, ada yang mengatakan sampai usia 13 tahun, ada yang mengatakan sampai usia 14 tahun, ada yang mengatakan sampai usia 20 tahun dan ada yang mengatakan sampai usia 22 tahun. Tetapi penulis buku ini sesudah memperhatikan dari bermacam-macam segi, agak condong berpendapat bahwa Imam Syafi’i rahimahullah tinggal di Mekkah sampai usia 20 tahun dan sesudah itu pindah ke Madinah al Munawwarah. Perbedaan angka ini tidak prinsipil, yang terang beliau tinggal di Mekkah di waktu kecil dan setelah muda remaia pindah ke Madinah.

Thursday 22 October 2015

Sejarah singkat Imam Syafi’i (Bagian 1)

Tahun dan Tempat Lahir

Nama asli dari Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Gelar beliau Abu Abdillah. Orang Arab kalau menuliskan nama biasanya mendahulukan gelar dari nama sehingga berbunyi: Abu Abdillah Muhammad bin Idris. Beliau lahir di Gazza, bagian selatan dari Palestina, pada tahun 150 H. pertengahan abad kedua Hijriyah.
Ada ahli sejarah mengatakan bahwa beliau lahir di Asqalan, tetapi kedua perkataan ini tidak berbeda karena Gazza dahulunya adalah daerah Asqalan. Kampung halaman Imam Syafi’i rahimahullah bukan di Gazza Palestina, tetapi di Mekkah (Hijaz). Dahulunya ibu-bapak beliau datang ke Gazza untuk suatu keperluan, dan tidak lama setelah itu beliau lahir.