Berkunjung ke Bagdad dan
lain-lain.
Setelah 2 tahun di Madinah yakni
dalam usia 22 tahun Imam Syafi’i rahimahullah berangkat ke
Iraq (Kufah dan Bagdad), di mana beliau bermaksud selain menambah ilmu dalam
soal-soal kehidupan bangsa-bangsa juga untuk menemui ulama-ulama ahli hadits
atau ahli fiqih yang bertebarang pada ketika itu di Iraq dan Persia (Iran).
Sebagai dimaklumi kota Kufah ketika itu adalah ibu kota tempat kedudukan
Khalifah-khalifah Abu Ja’far al Mansyur dan penggantinya Khalifah Harun Ar
Rasyid yang terkenal, dan Bagdad adalah pusat ilmu pengetahuan, baik
pengetahuan yang datang dari Barat atau yang datang dari Timur. Memang Iraq
pada zaman Harun ar Rasyid dianggap sebagai negeri tempat ilmu Pengetahuan yang
memancar ke seluruh penjuru dunia sebagai yang diterangkan di atas.
Perjalanan antara Madinah dan
Iraq dilakukan dengan mengendarai onta selama 24 hari. Jauh juga. Tapi Imam
Syafi’i rahimahullah mendapat bekal dari gurunya lmam
Malik rahimahullah sebanyak 50 dinar emas, cukup untuk belanja
dan untuk menginap di situ beberapa waktu lamanya karena ongkos kendaraan-dari
Madinah ke Iraq hanya 4 dinar (emas).
Sesampainya di Kufah beliau
menemui ulama-ulama sahabat almarhum Imam Abu Hanifah, yaitu guru besar Abu
Yusuf dan Muhammad bin Hasan di mana Imam Syafi’i rahimahullah seringkali
bertukar fikiran dan beri-memberi dengan beliau-beliau ini dalam soal-soal ilmu
pengetahuan agama. Dalam kesempatan ini Imam Syafi’i rahimahullah dapat
mengetahui aliran-aliran atau cara-cara fiqih dalam Madzhab Hanafi yang agak
jauh berbeda dari cara-cara dan aliran fiqih dalam Madzhab Maliki.
Imam Hanafi dan Imam Maliki
hampir bersamaan zamannya karena Imam Hanafi dilahirkan tahun 81 H. meninggal
150 H. Sedangkan Imam Maliki dilahirkan tahun 93 H. dan meninggal 179 H. Tetapi
walaupun bersamaan zaman, namun aliran madzhab masing-masing berbeda. Madzhab
Imam Maliki di Madinah berpendapat bahwa kalau dalam Al Quran tidak terdapat
hukum agama ,maka hadits Nabilah yang menjadi sandaran hukum, sekali pun hadits
Nabi itu Mutawatir (banyak yang merawikan). Ahad (satu jalan saja yang
merawikan), Sahih atau Hasan. Tetapi Madzhab Hanafi di Iraq berpendapat bahwa
kalau dalam AI Quran tidak terdapat hukum sesuatu yang terjadi maka yang boleh
dijadikan sandaran hukum lagi hanya hadits yang mutawatir saja. Kalau tidak ada
hadits yang mutawatir, langsung pindah pada “ijtihad” yakni pendapat Imam
Mujtahid. Oleh karena itu golongan Imam Maliki dinamakan golongan Ahli
Hadits dan golongan Imam Hanafi dinamakan “AhIi Ra’yi” (Ahli Pendapat).
Imam Syafi’i rahimahullah ketika
itu dapat mendalami dan menganalisa cara-cara yang dipakai oleh kedua Imam itu.
Ketika itu beliau tidak lama di Iraq dan terus mengembara ke Persi, sampai ke
Anadholi (Turki), terus ke Ramlah (Palestina) dimana beliau dalam perjalanan
mencari dan menjumpai ulama-ulama baik Tabi’in atau Tabi-Tabi’in. Pada
kesempatan mengembara ini beliau mengetahui adat istiadat bangsa-bangsa selain
bangsa Arab, karena Persia dan Anadholi bukan bangsa Arab lagi. Hal ini
nantinya menolong beliau dalam membangun fat’wanya dalam Madzhab Syafi’i.
Kembali ke Madinah
Sesudah 2 tahun mengembara
meninjau antara Bagdad, Persia, Turki dan Palestina, Imam Syafi’i rahimahullah kembali
ke Madinah dan kembali kepada guru besarnya yaitu Imam Maliki, Malik bin Anas.
Imam Maliki bertambah kagum dengan ilmu Imam Syafi’i rahimahullah dan
bahkan sudah ada pertanda dari Imam Maliki bahwa ilmu Imam Syafi’i sudah
melebihi ilmunya.
Imam Maliki memberi izin kepada
Imam Syafi’i rahimahullah untuk memberi fatwa sendiri dalam
ilmu Frqih, artinya tidak berfatwa atas dasar aliran lmam Maliki dan juga tidak
atas dasar aliran Imam Hanafi, tetapi berfatwa atas dasar madzhab sendiri. Imam
Syafi’i rahimahullah tinggal bersama Imam Maliki sampai tahun
179 H. yaitu sampai Imam Maliki meninggal dunia. Imam Syafi’i rahimahullah belaiar
dengan Imam Maliki selama 7 tahun, yaitu pada tahun 170 H. – 172 H. dan dari
tahun 174 H. – 179 H.
Menjadi Mufti di Yaman.
Setelah gurunya (Imam Malik)
berpulang ke rahmatullah, maka Imam Syafi’i rahimahullah pergi
ke Yaman. Perjalanan ke Yaman ini sepanjang riwayat ialah bahwa Wali (semacam
gubernur) Yaman datang ke kota Madinah untuk berziarah ke makam Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia mendengar dari orang
Madinah tentang kecakapan dan kepintarann Imam Syafi’i rahimahullah.
Wali negeri Yaman ini tertarik kepada Imam Syafi’i rahimahullah sehingga
diusahakannya berjumpa dengan beliau.
Kemudian terdapat kata sepakat
antara keduanya, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah akan dibawa
ke Yaman, diangkat sebagai Sekretaris Negara, sambil mengajar dan menjadi
Mufti. “Mufti” artinya berfatwa tentang hukum-hukum agama. Nama Muhammad bin
Idris as Syafi’i menjadi masyhur di negeri Yaman dan sekitarnya, banyaklah
orang memujinya karena kecakapan dan kepintaran beliau. Tetapi, sungguhpun
beliau sudah alim besar, sudah disegani oleh segala pihak, namun beliau tidak
segan-segan untuk belajar apabila melihat ada guru agama yang lebih pintar
daripadanya, yang dikiranya dapat menambah ilmunya.
Di Yaman beliau belajar kepada
Syeikh Yahya bin Husein, seorang ulama besar di kota Shan’a ketika itu. Ketika
beliau di Yaman beliau diangkat pula menjadi Wali daerah Najran, sebagai Kepala
Daerah beliau disayangi oleh rakyat karena adil dan pemurahnya. Pekerjaan ini
tidak lama dijabat oleh beliau, karena tidak sesuai dengan bakatnya. Beliau
lebih condong kepada ilmu daripada siasah.
Imam Syafi’i rahimahullah menikah
di Yaman dengan seorang puteri bernama Hamidah binti Nafi’i, seorang puteri
keturunan Saidina Utsman bin Affan, Sahabat dan Khalifah Nabi yang ke III. Usia
beliau sewaktu nikah lebih-kurang 30 tahun. Dari pernikahan ini beliau mendapat
3 (tiga) orang anak, seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Anak beliau
yang laki-laki ini bernama Muhammad bin Syafi’I kemudian menjadi ulama besar pula
dan menjadi qadhi di Jazirah (wafat 240H.).
Imam Syafi’i rahimahullah Ditangkap.
Imam Syafi’i rahimahullah ketika
di Yaman ini sudah menjadi orang besar. Beliau disayangi oleh Wali Negeri dan
diangkat menjadi “Katib-Daulah” (Sekretaris Negara) di samping beliau menjadi
Mufti dan guru agama di mesjid-mesjid, bertabligh di mana-mana sehingga masyhur
namanya. Telah menjadi kebiasaan di dunia yang fana ini bahwa setiap orang yang
mendapat nikmat, ada saja orang yang dengki dan yang berniat jahat untuk
menjatuhkannya. Beliau difitnah kepada Khalifah Harun ar Rasyid, yang ketika
itu berkedudukan di Bagdad (Iraq), dikatakan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengembangkan
faham syi’ah di Yaman dan masuk golongan partai Syi’ah yang sangat membenci
Khalifah Harun ar Rasyid, khalifah Abbasiyah itu.
Memang dalam sejarah Islam
tercatat bagaimana permusuhan yang mendalam antara orang-orang Syi’ah yang
katanya pengikut Saidina ‘Ali radhiyallahu anhu dengan
orang-orang Bani Umaiyah dan Bani Abbas. Ya, pada mulanya pembangunan Dinasti
Abbassiyah ditolong oleh orang-orang Syi’ah untuk melawan Bani Umaiyah, akan
tetapi kemudian ternyata bahwa orang-orang Syi’ah tidak senang hati pula pada
orang-orang Bani Abbas itu. Khalifah Harun ar Rasyid selalu dirongrong oleh
partai Syi’ah, yang kebetulan banyak bertebaran di Yaman ketika itu. Oleh
karena itu Khalifah Harun ar Rasyid selalu curiga kepada Ulama-ulama di Yaman
yang dianggapnya mengembangkan faham Syi’ah yang ditantangnya.
Disebabkan fitnah dari orang-orang
yang dengki terhadap Imam Syafi’i maka beliau ditangkap bersama-sama kaum
Syi’ah dan digolongkan kepada orang-orang Syi’ah lalu dibawa ke Bagdad untuk
diadili oleh Khalifah Harun ar Rasyid, dengan rantai-besi pada kaki dan
tangannya. Inilah imtihan (ujian iman) bagi Imam Syafi’i rahimahullah. Memang
orang-orang yang beriman itu banyak mendapat cobaan iman. Banyak di antara
rombongan Syi’ah itu yang dijatuhi hukuman mati oleh Khalifah, tetapi ketika
sampai pertanyaan kepada Imam Syafi’i rahimahullah, maka terjadilah
dialog (percakapan) antara Khalifah dengan Imam Syafi’i rahimahullah.
Dengan merangkak karena kedua
kakinya dibelenggu. Imam Syafi’i masuk ke majlis Harun ar Rasyid dan berkata,
Assalamu’alaikum wabarakatuh” (selamat atasmu dan berkat-Nya). Imam Syafi’i
tidak mengucapkan warahmatullahi (dan rahmat Tuhan). Khalifah Harun ar Rasyid
menjawab, “Alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh” (Selamat atasmu, rahmat
Tuhan dan berkat-Nya). Harun ar Rasyid agak heran melihat ketenangan Imam
Syafi’i rahimahullah karena tidak gelisah sedikit pun, padahal
kawan-kawannya yang sama-sama ditangkap sudah dijatuhi hukuman mati. Khalifah
Harun ar Rasyid bertanya, “Kenapa kamu berbicara dalam sidang ini tanpa izin
saya, sehingga saya terpaksa menjawabnya?” (Pedu diketahui bahwa mengucapkan
salam hukumnya sunnat, sedang menjawab hukumnya wailb). Imam Syafi’i rahimahullah membacakan
firman Tuhan :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا
مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا
اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي
ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي
لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ
فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya : ” Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka
tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik. (QS An-Nur : 55).
Lalu Imam Syafi’i rahimahullah meneruskan
ucapannya : “Tuhan apabila berjanji, menepati janji-Nya dan kini ia telah mengangkat
Tuanku menjadi Khalifah di bumi-Nya yang luas ini. Tuanku telah memberikan
keamanan kepada saya sesudah saya dalam ketakutan, karena Tuanku menjawab salam
saya dengan ucapan Warahmatullahi, (dan rahmat Tuhan untuk saya). Dengan begitu
Tuanku telah memberikan arhmat Tuhan kepada saya dengan kemurahan hati Tuanku.”
Khalifah Harun ar Rasyid tergerak hatinya mendengar ucapan yang lantang dan
fasih dari Imam Syafi’i yang kelihatannya tak sedikit juga takut dan gentar.
Lantas Khalifah Harun ar Rasyid berkata,
..Bukankah engkau yang mengepalai komplotan pemberontak untuk menentangku,
bukankah engkau telah bersekongkol dengan Abdullah bin Hasan untuk menentang
aku, bukankah engkau orang yang sudah terang salahnya, bagaimana ..bagaimana
engkau dapat membelanya? Imam Syafi’i menjawab, “Saya akan menerangkan pula isi
dada saya sebaik-baiknya untuk mencari keadilan dan kebenaran. Tetapi dapatkah
orang melahirkan perasaannya dengan seksama kalau kaki dan tangannya dirantai
dengan besi berat ini? Saya minta agar rantai kaki dan tangan saya dibuka dan
memperkenankan duduk sewajarnya. Dan puji-pujian kepada Allah yang Maha Kaya.”
Khalifah Harun ar Rasyid terbuka
hatinya dan memerintahkan ketika itu juga kepada petugasnya untuk membuka
rantai-rantai yang melingkari kaki dan tangan Imam Syafi’i rahimahullah.
Imam Syafi’i lantas berkata, “Tuhan berfirman begini :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ
فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya : ” Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu. “. (Al-Hujarat : 6).
“Saya
berselindung kepada Allah, bahwa saya adalah laki-laki yang disampaikan kepada
Tuanku, bohong sekali orang yang menyampaikan kepada Tuanku. Saya mempunyai dua
pertalian dengan Tuan Khalifah, yaitu sama-sama beragama Islam dan sama-sama
satu keturunan. Tuanku adalah seorang yang harus berpegang kepada Kitabullah.
Tuanku anak paman Rasulullah yang harus melindungi agamanya.”
Mendengar ucapan-ucapan Imam
Syafi’i yang diucapkan dengan lancar ini, Khalifah Harun ar Rasyid tiba-ti[a
jadi gembira, lalu berkata. “Tenanglah, tenangkanlah pikiranmu, saya menghargai
ilmumu dan juga menghargai pertalihan darah kita.” Lalu Khalifah berkata lagi,
“Bagaimana keadaan ilmu kamu dengan Kitabullah ‘azza wajalla, di sanalah kita
mulai bicara.” Imam Syafi’i rahimahullah menjawab, “Kitab Suci
yang mana Tuan Khalifah tanyakan,karena kitab suci yang diturunkan banyak
sekali.” Khalifah menjawab, “Baiklah, saya bertanya tentang kitab suci yang
diturunkan kepada anak paman saya, Muhammad Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.” Imam Syafi’i rahimahullah menjawab,
“Ilmu yang terkandung dalam Al Quran itu banyak sekali, yang manakah yangTuanku
tanyakan ? Ada ilmu ayat-ayat mutasyabih dan ayat muhakkamah, ada ilmu
ayat-ayat taqdim dan ta’khir, ada ilmu tentang Nasekh dan Mansukh, ada ilmu ini
dan ada ilmu itu.”
Kemudian Khalifah terpesona dan
lantas menukar haluan, bukan lagi bertanya soal-soal agama tetapi berpindah
kepada soal-soal ilmu falak, ilmu kedokteran, iimu firasat dan lain-lain yang
kesemuanya dijawab oleh Imam Syafi’i rahimahullah dengan
sangat memuaskan Khalifah Harun ar Rasyid. Kemudian Khalifah berkata,
“Datanglah engkau sewaktu-waktu untuk mengajar saya!”
Dengan begitu bebaslah Imam
Syafi’i rahimahullah dari tuduhan, dan kecewalah tukang-tukang
fitnah yang memfitnah beliau. Inilah kedatangan Imam Syafi’i rahimahullah yang
kedua kali ke Iraq (Kufah atau Bagdad) yang terjadi pada tahun 184 H. yakni
dalam usia 34 tahun.
Kembali ke Mekkah (Hijaz).
Tidak lama sesudah beliau bebas
maka Imam Syafi’i rahimahullah kembali ke kampung asalnya yaitu Mekkah
aI Mukarramah, sesudah ditinggalkannya lebih kurang 11 tahun. Ia disambut oleh
Ulama dan rakyat Mekkah karena kemasyhurannya. Sudah lama beliau di Mekkah
masih mendapat sambutan akibat banyaknya orang haji yang pulang balik antara
Madinah dan Mekkah dan antara Mekkah dengan Kufah (Iraq).
Beliau membuat rumah tempat
tinggal di luar kota Mekkah di suatu tempat yang memungkinkan dapat didatangi
oleh pelajar-pelajar yang menuntut ilmu kepada beliau. Lebih kurang selama 17
tahun beliau di Mekkah menaburkan ilmu-ilmu agama kepada kaum Muslimin yang
setiap tahun datang ke Mekkah untuk ibadat haji. Karena itu nama Imam Syafi’i rahimahullah
masyhur ke seluruh dunia Islam karena setiap orang haji yang datang ke Mekkah
pulang ke kampungnya membawa kabar tentang ke’aliman Imam Syafi’i. Tetapi pada
ketika itu beliau masih merasa belum sampai kepada derajatnya Imam Mujtahid
Muthlak (Mujtahij Penuh), sehingga fatwa-fatwa beliau adalah berdasarkan fatwa
guru-gurunya yang didapatnya di Mekkah, Madinah dan Iraq.
(Bersambung ke Bag. 5 - terakhir)
No comments:
Post a Comment