Saturday 7 November 2015

Sejarah singkat Imam Syafi’i (Bagian 4)



Berkunjung ke Bagdad dan lain-lain.
Setelah 2 tahun di Madinah yakni dalam usia 22 tahun Imam Syafi’i rahimahullah berangkat ke Iraq (Kufah dan Bagdad), di mana beliau bermaksud selain menambah ilmu dalam soal-soal kehidupan bangsa-bangsa juga untuk menemui ulama-ulama ahli hadits atau ahli fiqih yang bertebarang pada ketika itu di Iraq dan Persia (Iran). Sebagai dimaklumi kota Kufah ketika itu adalah ibu kota tempat kedudukan Khalifah-khalifah Abu Ja’far al Mansyur dan penggantinya Khalifah Harun Ar Rasyid yang terkenal, dan Bagdad adalah pusat ilmu pengetahuan, baik pengetahuan yang datang dari Barat atau yang datang dari Timur. Memang Iraq pada zaman Harun ar Rasyid dianggap sebagai negeri tempat ilmu Pengetahuan yang memancar ke seluruh penjuru dunia sebagai yang diterangkan di atas.
Perjalanan antara Madinah dan Iraq dilakukan dengan mengendarai onta selama 24 hari. Jauh juga. Tapi Imam Syafi’i rahimahullah mendapat bekal dari gurunya lmam Malik rahimahullah sebanyak 50 dinar emas, cukup untuk belanja dan untuk menginap di situ beberapa waktu lamanya karena ongkos kendaraan-dari Madinah ke Iraq hanya 4 dinar (emas).
Sesampainya di Kufah beliau menemui ulama-ulama sahabat almarhum Imam Abu Hanifah, yaitu guru besar Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan di mana Imam Syafi’i rahimahullah seringkali bertukar fikiran dan beri-memberi dengan beliau-beliau ini dalam soal-soal ilmu pengetahuan agama. Dalam kesempatan ini Imam Syafi’i rahimahullah dapat mengetahui aliran-aliran atau cara-cara fiqih dalam Madzhab Hanafi yang agak jauh berbeda dari cara-cara dan aliran fiqih dalam Madzhab Maliki.
Imam Hanafi dan Imam Maliki hampir bersamaan zamannya karena Imam Hanafi dilahirkan tahun 81 H. meninggal 150 H. Sedangkan Imam Maliki dilahirkan tahun 93 H. dan meninggal 179 H. Tetapi walaupun bersamaan zaman, namun aliran madzhab masing-masing berbeda. Madzhab Imam Maliki di Madinah berpendapat bahwa kalau dalam Al Quran tidak terdapat hukum agama ,maka hadits Nabilah yang menjadi sandaran hukum, sekali pun hadits Nabi itu Mutawatir (banyak yang merawikan). Ahad (satu jalan saja yang merawikan), Sahih atau Hasan. Tetapi Madzhab Hanafi di Iraq berpendapat bahwa kalau dalam AI Quran tidak terdapat hukum sesuatu yang terjadi maka yang boleh dijadikan sandaran hukum lagi hanya hadits yang mutawatir saja. Kalau tidak ada hadits yang mutawatir, langsung pindah pada “ijtihad” yakni pendapat Imam Mujtahid. Oleh karena itu golongan Imam Maliki dinamakan golongan  Ahli Hadits dan golongan Imam Hanafi dinamakan “AhIi Ra’yi” (Ahli Pendapat).
Imam Syafi’i rahimahullah ketika itu dapat mendalami dan menganalisa cara-cara yang dipakai oleh kedua Imam itu. Ketika itu beliau tidak lama di Iraq dan terus mengembara ke Persi, sampai ke Anadholi (Turki), terus ke Ramlah (Palestina) dimana beliau dalam perjalanan mencari dan menjumpai ulama-ulama baik Tabi’in atau Tabi-Tabi’in. Pada kesempatan mengembara ini beliau mengetahui adat istiadat bangsa-bangsa selain bangsa Arab, karena Persia dan Anadholi bukan bangsa Arab lagi. Hal ini nantinya menolong beliau dalam membangun fat’wanya dalam Madzhab Syafi’i.

Kembali ke Madinah
Sesudah 2 tahun mengembara meninjau antara Bagdad, Persia, Turki dan Palestina, Imam Syafi’i rahimahullah kembali ke Madinah dan kembali kepada guru besarnya yaitu Imam Maliki, Malik bin Anas. Imam Maliki bertambah kagum dengan ilmu Imam Syafi’i rahimahullah dan bahkan sudah ada pertanda dari Imam Maliki bahwa ilmu Imam Syafi’i sudah melebihi ilmunya.
Imam Maliki memberi izin kepada Imam Syafi’i rahimahullah untuk memberi fatwa sendiri dalam ilmu Frqih, artinya tidak berfatwa atas dasar aliran lmam Maliki dan juga tidak atas dasar aliran Imam Hanafi, tetapi berfatwa atas dasar madzhab sendiri. Imam Syafi’i rahimahullah tinggal bersama Imam Maliki sampai tahun 179 H. yaitu sampai Imam Maliki meninggal dunia. Imam Syafi’i rahimahullah belaiar dengan Imam Maliki selama 7 tahun, yaitu pada tahun 170 H. – 172 H. dan dari tahun 174 H. – 179 H.

Menjadi Mufti di Yaman.
Setelah gurunya (Imam Malik) berpulang ke rahmatullah, maka Imam Syafi’i rahimahullah pergi ke Yaman. Perjalanan ke Yaman ini sepanjang riwayat ialah bahwa Wali (semacam gubernur) Yaman datang ke kota Madinah untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia mendengar dari orang Madinah tentang kecakapan dan kepintarann Imam Syafi’i rahimahullah. Wali negeri Yaman ini tertarik kepada Imam Syafi’i rahimahullah sehingga diusahakannya berjumpa dengan beliau.
Kemudian terdapat kata sepakat antara keduanya, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah akan dibawa ke Yaman, diangkat sebagai Sekretaris Negara, sambil mengajar dan menjadi Mufti. “Mufti” artinya berfatwa tentang hukum-hukum agama. Nama Muhammad bin Idris as Syafi’i menjadi masyhur di negeri Yaman dan sekitarnya, banyaklah orang memujinya karena kecakapan dan kepintaran beliau. Tetapi, sungguhpun beliau sudah alim besar, sudah disegani oleh segala pihak, namun beliau tidak segan-segan untuk belajar apabila melihat ada guru agama yang lebih pintar daripadanya, yang dikiranya dapat menambah ilmunya.
Di Yaman beliau belajar kepada Syeikh Yahya bin Husein, seorang ulama besar di kota Shan’a ketika itu. Ketika beliau di Yaman beliau diangkat pula menjadi Wali daerah Najran, sebagai Kepala Daerah beliau disayangi oleh rakyat karena adil dan pemurahnya. Pekerjaan ini tidak lama dijabat oleh beliau, karena tidak sesuai dengan bakatnya. Beliau lebih condong kepada ilmu daripada siasah.
Imam Syafi’i rahimahullah menikah di Yaman dengan seorang puteri bernama Hamidah binti Nafi’i, seorang puteri keturunan Saidina Utsman bin Affan, Sahabat dan Khalifah Nabi yang ke III. Usia beliau sewaktu nikah lebih-kurang 30 tahun. Dari pernikahan ini beliau mendapat 3 (tiga) orang anak, seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Anak beliau yang laki-laki ini bernama Muhammad bin Syafi’I kemudian menjadi ulama besar pula dan menjadi qadhi di Jazirah (wafat 240H.).

Imam Syafi’i rahimahullah Ditangkap.
Imam Syafi’i rahimahullah ketika di Yaman ini sudah menjadi orang besar. Beliau disayangi oleh Wali Negeri dan diangkat menjadi “Katib-Daulah” (Sekretaris Negara) di samping beliau menjadi Mufti dan guru agama di mesjid-mesjid, bertabligh di mana-mana sehingga masyhur namanya. Telah menjadi kebiasaan di dunia yang fana ini bahwa setiap orang yang mendapat nikmat, ada saja orang yang dengki dan yang berniat jahat untuk menjatuhkannya. Beliau difitnah kepada Khalifah Harun ar Rasyid, yang ketika itu berkedudukan di Bagdad (Iraq), dikatakan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengembangkan faham syi’ah di Yaman dan masuk golongan partai Syi’ah yang sangat membenci Khalifah Harun ar Rasyid, khalifah Abbasiyah itu.
Memang dalam sejarah Islam tercatat bagaimana permusuhan yang mendalam antara orang-orang Syi’ah yang katanya pengikut Saidina ‘Ali radhiyallahu anhu dengan orang-orang Bani Umaiyah dan Bani Abbas. Ya, pada mulanya pembangunan Dinasti Abbassiyah ditolong oleh orang-orang Syi’ah untuk melawan Bani Umaiyah, akan tetapi kemudian ternyata bahwa orang-orang Syi’ah tidak senang hati pula pada orang-orang Bani Abbas itu. Khalifah Harun ar Rasyid selalu dirongrong oleh partai Syi’ah, yang kebetulan banyak bertebaran di Yaman ketika itu. Oleh karena itu Khalifah Harun ar Rasyid selalu curiga kepada Ulama-ulama di Yaman yang dianggapnya mengembangkan faham Syi’ah yang ditantangnya.
Disebabkan fitnah dari orang-orang yang dengki terhadap Imam Syafi’i maka beliau ditangkap bersama-sama kaum Syi’ah dan digolongkan kepada orang-orang Syi’ah lalu dibawa ke Bagdad untuk diadili oleh Khalifah Harun ar Rasyid, dengan rantai-besi pada kaki dan tangannya. Inilah imtihan (ujian iman) bagi Imam Syafi’i rahimahullah. Memang orang-orang yang beriman itu banyak mendapat cobaan iman. Banyak di antara rombongan Syi’ah itu yang dijatuhi hukuman mati oleh Khalifah, tetapi ketika sampai pertanyaan kepada Imam Syafi’i rahimahullah, maka terjadilah dialog (percakapan) antara Khalifah dengan Imam Syafi’i rahimahullah.
Dengan merangkak karena kedua kakinya dibelenggu. Imam Syafi’i masuk ke majlis Harun ar Rasyid dan berkata, Assalamu’alaikum wabarakatuh” (selamat atasmu dan berkat-Nya). Imam Syafi’i tidak mengucapkan warahmatullahi (dan rahmat Tuhan). Khalifah Harun ar Rasyid menjawab, “Alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh” (Selamat atasmu, rahmat Tuhan dan berkat-Nya). Harun ar Rasyid agak heran melihat ketenangan Imam Syafi’i rahimahullah karena tidak gelisah sedikit pun, padahal kawan-kawannya yang sama-sama ditangkap sudah dijatuhi hukuman mati. Khalifah Harun ar Rasyid bertanya, “Kenapa kamu berbicara dalam sidang ini tanpa izin saya, sehingga saya terpaksa menjawabnya?” (Pedu diketahui bahwa mengucapkan salam hukumnya sunnat, sedang menjawab hukumnya wailb). Imam Syafi’i rahimahullah membacakan firman Tuhan :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya : ” Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS An-Nur : 55).
Lalu Imam Syafi’i rahimahullah meneruskan ucapannya : “Tuhan apabila berjanji, menepati janji-Nya dan kini ia telah mengangkat Tuanku menjadi Khalifah di bumi-Nya yang luas ini. Tuanku telah memberikan keamanan kepada saya sesudah saya dalam ketakutan, karena Tuanku menjawab salam saya dengan ucapan Warahmatullahi, (dan rahmat Tuhan untuk saya). Dengan begitu Tuanku telah memberikan arhmat Tuhan kepada saya dengan kemurahan hati Tuanku.” Khalifah Harun ar Rasyid tergerak hatinya mendengar ucapan yang lantang dan fasih dari Imam Syafi’i yang kelihatannya tak sedikit juga takut dan gentar.
Lantas Khalifah Harun ar Rasyid berkata, ..Bukankah engkau yang mengepalai komplotan pemberontak untuk menentangku, bukankah engkau telah bersekongkol dengan Abdullah bin Hasan untuk menentang aku, bukankah engkau orang yang sudah terang salahnya, bagaimana ..bagaimana engkau dapat membelanya? Imam Syafi’i menjawab, “Saya akan menerangkan pula isi dada saya sebaik-baiknya untuk mencari keadilan dan kebenaran. Tetapi dapatkah orang melahirkan perasaannya dengan seksama kalau kaki dan tangannya dirantai dengan besi berat ini? Saya minta agar rantai kaki dan tangan saya dibuka dan memperkenankan duduk sewajarnya. Dan puji-pujian kepada Allah yang Maha Kaya.”
Khalifah Harun ar Rasyid terbuka hatinya dan memerintahkan ketika itu juga kepada petugasnya untuk membuka rantai-rantai yang melingkari kaki dan tangan Imam Syafi’i rahimahullah. Imam Syafi’i lantas berkata, “Tuhan berfirman begini :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya : ” Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. “. (Al-Hujarat : 6).
“Saya berselindung kepada Allah, bahwa saya adalah laki-laki yang disampaikan kepada Tuanku, bohong sekali orang yang menyampaikan kepada Tuanku. Saya mempunyai dua pertalian dengan Tuan Khalifah, yaitu sama-sama beragama Islam dan sama-sama satu keturunan. Tuanku adalah seorang yang harus berpegang kepada Kitabullah. Tuanku anak paman Rasulullah yang harus melindungi agamanya.”
Mendengar ucapan-ucapan Imam Syafi’i yang diucapkan dengan lancar ini, Khalifah Harun ar Rasyid tiba-ti[a jadi gembira, lalu berkata. “Tenanglah, tenangkanlah pikiranmu, saya menghargai ilmumu dan juga menghargai pertalihan darah kita.” Lalu Khalifah berkata lagi, “Bagaimana keadaan ilmu kamu dengan Kitabullah ‘azza wajalla, di sanalah kita mulai bicara.” Imam Syafi’i rahimahullah menjawab, “Kitab Suci yang mana Tuan Khalifah tanyakan,karena kitab suci yang diturunkan banyak sekali.” Khalifah menjawab, “Baiklah, saya bertanya tentang kitab suci yang diturunkan kepada anak paman saya, Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Imam Syafi’i rahimahullah menjawab, “Ilmu yang terkandung dalam Al Quran itu banyak sekali, yang manakah yangTuanku tanyakan ? Ada ilmu ayat-ayat mutasyabih dan ayat muhakkamah, ada ilmu ayat-ayat taqdim dan ta’khir, ada ilmu tentang Nasekh dan Mansukh, ada ilmu ini dan ada ilmu itu.”
Kemudian Khalifah terpesona dan lantas menukar haluan, bukan lagi bertanya soal-soal agama tetapi berpindah kepada soal-soal ilmu falak, ilmu kedokteran, iimu firasat dan lain-lain yang kesemuanya dijawab oleh Imam Syafi’i rahimahullah dengan sangat memuaskan Khalifah Harun ar Rasyid. Kemudian Khalifah berkata, “Datanglah engkau sewaktu-waktu untuk mengajar saya!”
Dengan begitu bebaslah Imam Syafi’i rahimahullah dari tuduhan, dan kecewalah tukang-tukang fitnah yang memfitnah beliau. Inilah kedatangan Imam Syafi’i rahimahullah yang kedua kali ke Iraq (Kufah atau Bagdad) yang terjadi pada tahun 184 H. yakni dalam usia 34 tahun.

Kembali ke Mekkah (Hijaz).
Tidak lama sesudah beliau bebas maka Imam Syafi’i rahimahullah kembali ke kampung asalnya yaitu Mekkah aI Mukarramah, sesudah ditinggalkannya lebih kurang 11 tahun. Ia disambut oleh Ulama dan rakyat Mekkah karena kemasyhurannya. Sudah lama beliau di Mekkah masih mendapat sambutan akibat banyaknya orang haji yang pulang balik antara Madinah dan Mekkah dan antara Mekkah dengan Kufah (Iraq).
Beliau membuat rumah tempat tinggal di luar kota Mekkah di suatu tempat yang memungkinkan dapat didatangi oleh pelajar-pelajar yang menuntut ilmu kepada beliau. Lebih kurang selama 17 tahun beliau di Mekkah menaburkan ilmu-ilmu agama kepada kaum Muslimin yang setiap tahun datang ke Mekkah untuk ibadat haji. Karena itu nama Imam Syafi’i rahimahullah masyhur ke seluruh dunia Islam karena setiap orang haji yang datang ke Mekkah pulang ke kampungnya membawa kabar tentang ke’aliman Imam Syafi’i. Tetapi pada ketika itu beliau masih merasa belum sampai kepada derajatnya Imam Mujtahid Muthlak (Mujtahij Penuh), sehingga fatwa-fatwa beliau adalah berdasarkan fatwa guru-gurunya yang didapatnya di Mekkah, Madinah dan Iraq.


 (Bersambung ke Bag. 5 - terakhir)


No comments:

Post a Comment