Tuesday 27 October 2015

Sejarah singkat Imam Syafi’i (Bagian 3)

Ketekunan Imam Syafi’i Rahimahullah dalam Belajar
Muhammad bin Idris adalah seorang pemuda yang sangat rajin dalam belajar. Ia belajar dengan sungguh-sungguh dan tekun. Sebagai dimaklumi, beliau adalah seorang pelajar yang miskin, tidak mempunyai harta yang banyak untuk biaya belajar. Beliau seorang anak yatim di mana belanjanya hanya diberi oleh ibunya yang dalam serba kekurangan pula. Tetapi Imam Syafi’i rahimahullah mempunyai keyakinan bahwa menuntut ilmu itu tidak tergantung kepada kekayaan, tetapi hanya kepada kemauan yang keras. Anak-anak miskin yang keras hati lebih banyak yang maju dibanding dengan anak-anak yang kaya, yang biasanya suka malas. Beliau mengumpulkan tulang-tulang kambing atau tulang-tulang onta, yang biasanya banyak berserakan terutama sesudah orang-orang mengerjakan haji di Mina. Beliau mengumpulkan pelepah-pelepah tamar yang kering, beliau mengumpulkan tembikar dan batu-batu yang dapat ditulis dan beliau mengumpulkan kertas-kertas yang dibuang orang-orang kantor yang dapat ditulis Iagi. Beliau mendengar ucapan guru, dikte-dikte guru lalu menuliskan di atas bahan-bahan tadi sambil memperhatikan dan menghafalnya mana yang patut dihafal.

Pada suatu ketika penuh sesaklah kamar beliau dengan benda-benda tulang yang betulisan itu sehingga tidak dapat lagi beliau meluruskan kakinya ketika melepaskan lelah atau ketika tidur. Akhirnya beliau memutuskan agar semua tulisan itu dihafal saja di luar kepala dan tulang-tulang itu dikeluarkan dari kamar supaya kamar tidurnya meniadi agak lapang. Semua yang tertulis dihafalnya di luar kepala dan sesudah itu tulang-tulang dikeluarkan dari kamarnya. Jadi Imam Syafi’i rahimahullah sejak kecil sudah terlatih dan terdidik dengan menghafal di luar kepala. “Ilmu itu yang ada dalam dada, bukan yang ada dalam kertas”, kata peribahasa. Inilah nampaknya yang diamalkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah.
Maka dengan cara begini tidaklah heran kalau Imam Syafi’i rahimahullah dalam usia 9 tahun sudah menghafal Al-Quran di luar kepala, dan dalam usia 10 tahun sudah menghafal di luar kepala kitab Al Muwatha’, katangan Imam Malik. Beginilah kecerdasan dan ketajaman otak Imam Syafi’i rahimahullah. Dan begitulah Imam Syafi’i rahimahullah belajar seiak kecil sampai remaja, sampai dewasa berusia 20 tahun, di mana beliau sesudah itu pindah dari Mekkah al Mukarramah ke Madinah al Munawwarah.

Mencari Ilmu ke Madinah.
Pada seperempat terakhir dari abad ke ll Hijriyah kotaMadinah sedang gilang-gemilang dalam ilmu pengetahuan, karena di sana banyak menetap Ulama-ulama Tabi’in (orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi) dan ulama-ulama Tabi’-tabi’in (orang yang berjumpa dengan orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi). Ditengah-tengah ulama-ulama yang banyak itu ada seorang yang menonjol yang menjadi bintangnya, yaitu : seorang ulama yang terkenal dengan gelar julukan “Imam Darul Hijrah” (Imam negeri tempat Nabi berpindah), yaitu Imam Malik bin Anas, pembangun Madzhab Maliki). Imam Malik bin Anas lahir tahun 93 H., yaitu 57 tahun lebih tua dari Syafi’i rahimahullah dan wafat pada tahun 179 H., 25 tahun terdahulu dari Syafi’i rahimahullah. Sepanjang riwayat, Imam Malik bin Anas ini adalah seorang Ulama’ yang bersungguh-sungguh mengumpulkan hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau kumpulkan dan beliau hafal sebanyak 100.000 hadits dalam masa 40 tahun.
Ibnu Qudamah mengatakan bahwa Imam Malik bin Anas adalah seorang “Huffazh” (penghafal) hadits nomor satu pada zamannya dan tidak ada seorang pun yang menandingi beliau dalam soal penghafalan hadits itu. Hadits-hadits yang 100.000 banyaknyaitu beliau teliti satu per-satu, beliau lihat si rawi yang membawa hadits-hadits, beliau cocokkan dengan kitab suci Al-Quran tentang arti tujuannya. Pada akhirnya hadits yang 100.000 itu beliau pilih sehingga yang tinggal hanya 5.000 buah yang beliau anggap sangat sahihnya. Hadits yang 5.000 in’ah yang beliau kumpulkan dalam satu kitab yang berbentuk kitab fiqih sekarang, yang diberi nama “Al Muwatha’”. “Al Muwatha’ artinya : “yang disepakati”. Imam Malik bin Anas menamakan kitabnya dengan Al Muwatha’ (yang disepakati) karena beliau telah memperlihatkan kitab itu kepada 70 orang ulama-ulama fiqih di Madinah yang mana kesemua Ulama itu menyetujuinya.
Imam Syafi’i rahimahullah seorang yang mengagumi Imam Malik bin Anas dan pula seorang yang mengasihi kitab Al Muwatha’ sehingga kitab itu dihafal di luar kepala pada ketika beliau masih berumur 10 tahun. Sesungguhpun kitab Al Muwatha’ sudah hafal di luar kepala, tetapi keinginan Imam Syafi’i rahimahullah untuk datang belajar kepada pengarangnya makin berkobar. Beliau ingin mengambil ilmu Imam Malik dari mulut ke mulut, yakni berhadap-hadapan. Maka beliau minta izin kepada gurunya Muslim bin Khalid az Zanji untuk pergi ke Madinah menjumpai Imam Malik dan belajar pada beliau. Imam Syafi’i rahimahullah berangkat ke Madinah pada tahun 170 H. dengan membawa sepucuk surat dari gurunya Muslim bin Khalid yang ditujukan kepada Imam Malik bin Anas. Selain itu Imam Syafi’i rahimahullah membawa surat pula dari Wali Mekkah (semacam Gubernur) kepada Wali Madinah, dimana Wali Mekkah minta agar kiranya Wali Madinah memperkenankan Imam Syafi’i rahimahullah belajar kepada Imam Malik bin Anas.
Selama 8 hari 8 malam perjalanan antara Mekkah dan Madinah dengan mengendarai onta. Imam Syafi’i rahimahullah membaca Al Quran sebanyak 16 kali khatam/tammat, dengan mengkhatamkan 1 kali siang dan 1 kali malam. Sesampainya di Madinah beliau langsung menjumpai Imam Malik bersam dengan Wali Madinah. Imam Malik setelah menerima surat dari Wali Mekkah yang dialamatkan kepadanya, menyindir dengan mengatakan : “Subhanallah, menuntut ilmu Rasulullah kok pakai perantara.” Wali Madinah mempersilahkan Imam Syafi’i rahimahullah berbincang-bincang.
“Mudah-mudahan tuan dikaruniai oleh Allah”, kata Imam Syafi’i rahimahullah kepada Imam Malik. “Saya ini dari kaum Muththalib, datang dari Mekkah untuk menuntut ilmu dari tuan guru karena saya sudah lama mendengar nama tuan guru dan ingin belajar langsung dari tuan guru.” Sesudah itu Imam Malik memperhatikan Imam Syafi’i seketika dan beliau berkata, “Siapa namamu?” Imam Syafi’i menjawab, “Muhammad bin Idris.” Imam Malik menyambung, “Hai Muhammad, bertaqwalah kepada Allah, dan jauhilah segala kedurhakaan. Saya melihat kepadamu ada sesuatu yang akan terjadi. Baiklah, besok datanglah lagi dan akan saya suruh orang membacakan Al Muwatha’ kepadamu.”
Jawab Imam Syafi’i, “Tak perlu dicarikan orang lain karena saya sudah menghafal di luar kepala Kitab Al Muwatha’ itu. Imam Malik menjawab, “Kalau begitu keadaannya, cobalah baca .” Imam Syafi’i rahimahullah lantas membaca kitab Al Muwatha’ yang langsung didengar oleh Imam Malik dengan seksama dan di sana-sini membetulkan pembacaan-pembacaan Imam Syafi’i yang lancar itu. Imam Malik sangat kagum melihat Imam Syafi’i muda ini, karena masih dalam usia muda remaja sudah mendalam ilmunya, sudah mahir dalam arti ayat-ayat suci Al Quran, hadits-hadits Nabi dan kaedah-kaedah bahasa Arab. Kemudian Imam Syafi’i rahimahullah tetap setiap hari mendatangi halakah tempat Imam Malik mengajar di mesjid Madinah di mana beliau bersama-sama pelajarpelajar lain yang terdiri dad Ulama-ulama Besar dari seluruh penjuru mendengar dan mencatat pengajian-pengajian yang diberikan oleh Imam Malik, seorang Ulama Besar dan lmam Mujtahid yang jarang tandingannya.
Akhirnya Imam Syafi’i rahimahullah mendapat kepercayaan besar dari Imam Malik dan lantas diundang menginap di rumahnya dan setiap hari datang ke mesjid bersama-sama sebagai pembantunya dalam mengajarkan kitab Al Muwatha’ dan lain-lain. Imam Malik membacakan kitabnya kepada murid-murid dan sesudah itu Imam Syafi’i rahimahullah (yang ketika itu belum berpangkat Imam Mujtahid) membantu Imam Malik mendiktekan (mengimlakkan) kitab karangan Imam Malik itu kepada sekalian mahasiswanya.
Ada kira-kira setahun Imam Syafi’i rahimahullah tidak berpisah dengan Imam Malik, selalu dengan beliau sebagai murid dan sebagai pembantu. Dengan cara begitu Imam Syafi’i rahimahullah mendapat kenalan
banyak dari Ulama-ulama yang datang ke Madinah sesudah menunaikan ibadah haji dan datang belajar kepada Imam Malik. Di antara orang-orang yang berkenalan dengan Imam Syafi’i rahimahullah ketika itu adalah Abdullah bin al Hakam dari Mesir (Kairo), yang kemudian di waktu Imam Syafi’i rahimahullah datang ke Mesir, beliau berkunjung ke rumah Abdullah bin al Hakam ini. Juga Imam Syafi’i rahimahullah berkenalan dengan Asyhab lbnul Qasim dan aI Laits bin Sa’ad, yaitu ulama-ulama Mesir yang berkunjung ke Madinah yang telah mendengar Imam Syafi’i mendiktekan kitab al Muwatha’. Dan juga Imam Syafi’i rahimahullah berkenalan dengan Ulama-ulama Iraq yang berkunjung ke Madinah sesudah menunaikan ibadah haji. Banyak sekali diantara mereka yang datang menguniungi halakah Imam Malik dan mendengar imlak dari Imam Syafi’i rahimahullah yang bijak itu.
Pada ketika itulah Muhammad bin Idris mendengar bahwa di Bagdad dan Kufah banyak sekali terdapat ulama-ulama murid dari Imam Abu Hanifah (pembangun dari Madzhab Hanafi), sehingga tertarik hati beliau hendak mengunjungi lraq dan Mesir.


 (Bersambung ke Bag. 4)

No comments:

Post a Comment