Ketekunan Imam Syafi’i
Rahimahullah dalam Belajar
Muhammad bin Idris adalah seorang
pemuda yang sangat rajin dalam belajar. Ia belajar dengan sungguh-sungguh dan
tekun. Sebagai dimaklumi, beliau adalah seorang pelajar yang miskin, tidak
mempunyai harta yang banyak untuk biaya belajar. Beliau seorang anak yatim di
mana belanjanya hanya diberi oleh ibunya yang dalam serba kekurangan pula.
Tetapi Imam Syafi’i rahimahullah mempunyai keyakinan bahwa menuntut ilmu
itu tidak tergantung kepada kekayaan, tetapi hanya kepada kemauan yang keras.
Anak-anak miskin yang keras hati lebih banyak yang maju dibanding dengan
anak-anak yang kaya, yang biasanya suka malas. Beliau mengumpulkan tulang-tulang
kambing atau tulang-tulang onta, yang biasanya banyak berserakan terutama
sesudah orang-orang mengerjakan haji di Mina. Beliau mengumpulkan
pelepah-pelepah tamar yang kering, beliau mengumpulkan tembikar dan batu-batu
yang dapat ditulis dan beliau mengumpulkan kertas-kertas yang dibuang
orang-orang kantor yang dapat ditulis Iagi. Beliau mendengar ucapan guru,
dikte-dikte guru lalu menuliskan di atas bahan-bahan tadi sambil memperhatikan
dan menghafalnya mana yang patut dihafal.
Pada suatu ketika penuh sesaklah
kamar beliau dengan benda-benda tulang yang betulisan itu sehingga tidak dapat
lagi beliau meluruskan kakinya ketika melepaskan lelah atau ketika tidur.
Akhirnya beliau memutuskan agar semua tulisan itu dihafal saja di luar kepala
dan tulang-tulang itu dikeluarkan dari kamar supaya kamar tidurnya meniadi agak
lapang. Semua yang tertulis dihafalnya di luar kepala dan sesudah itu
tulang-tulang dikeluarkan dari kamarnya. Jadi Imam Syafi’i rahimahullah
sejak kecil sudah terlatih dan terdidik dengan menghafal di luar kepala. “Ilmu
itu yang ada dalam dada, bukan yang ada dalam kertas”, kata peribahasa. Inilah
nampaknya yang diamalkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah.
Maka dengan cara begini tidaklah
heran kalau Imam Syafi’i rahimahullah dalam usia 9 tahun sudah menghafal
Al-Quran di luar kepala, dan dalam usia 10 tahun sudah menghafal di luar kepala
kitab Al Muwatha’, katangan Imam Malik. Beginilah kecerdasan dan ketajaman otak
Imam Syafi’i rahimahullah. Dan begitulah Imam Syafi’i rahimahullah belajar
seiak kecil sampai remaja, sampai dewasa berusia 20 tahun, di mana beliau
sesudah itu pindah dari Mekkah al Mukarramah ke Madinah al Munawwarah.
Mencari Ilmu ke Madinah.
Pada seperempat terakhir dari
abad ke ll Hijriyah kotaMadinah sedang gilang-gemilang dalam ilmu pengetahuan,
karena di sana banyak menetap Ulama-ulama Tabi’in (orang yang berjumpa dengan
sahabat Nabi) dan ulama-ulama Tabi’-tabi’in (orang yang berjumpa dengan orang
yang berjumpa dengan sahabat Nabi). Ditengah-tengah ulama-ulama yang banyak itu
ada seorang yang menonjol yang menjadi bintangnya, yaitu : seorang ulama yang
terkenal dengan gelar julukan “Imam Darul Hijrah” (Imam negeri tempat Nabi
berpindah), yaitu Imam Malik bin Anas, pembangun Madzhab Maliki). Imam Malik
bin Anas lahir tahun 93 H., yaitu 57 tahun lebih tua dari Syafi’i rahimahullah
dan wafat pada tahun 179 H., 25 tahun terdahulu dari Syafi’i rahimahullah. Sepanjang
riwayat, Imam Malik bin Anas ini adalah seorang Ulama’ yang bersungguh-sungguh
mengumpulkan hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Beliau kumpulkan dan beliau hafal sebanyak 100.000 hadits dalam masa 40 tahun.
Ibnu Qudamah mengatakan bahwa
Imam Malik bin Anas adalah seorang “Huffazh” (penghafal) hadits nomor satu pada
zamannya dan tidak ada seorang pun yang menandingi beliau dalam soal
penghafalan hadits itu. Hadits-hadits yang 100.000 banyaknyaitu beliau teliti
satu per-satu, beliau lihat si rawi yang membawa hadits-hadits, beliau cocokkan
dengan kitab suci Al-Quran tentang arti tujuannya. Pada akhirnya hadits yang
100.000 itu beliau pilih sehingga yang tinggal hanya 5.000 buah yang beliau
anggap sangat sahihnya. Hadits yang 5.000 in’ah yang beliau kumpulkan dalam
satu kitab yang berbentuk kitab fiqih sekarang, yang diberi nama “Al Muwatha’”.
“Al Muwatha’ artinya : “yang disepakati”. Imam Malik bin Anas menamakan
kitabnya dengan Al Muwatha’ (yang disepakati) karena beliau telah
memperlihatkan kitab itu kepada 70 orang ulama-ulama fiqih di Madinah yang mana
kesemua Ulama itu menyetujuinya.
Imam Syafi’i rahimahullah
seorang yang mengagumi Imam Malik bin Anas dan pula seorang yang mengasihi
kitab Al Muwatha’ sehingga kitab itu dihafal di luar kepala pada ketika beliau
masih berumur 10 tahun. Sesungguhpun kitab Al Muwatha’ sudah hafal di luar
kepala, tetapi keinginan Imam Syafi’i rahimahullah untuk datang belajar
kepada pengarangnya makin berkobar. Beliau ingin mengambil ilmu Imam Malik dari
mulut ke mulut, yakni berhadap-hadapan. Maka beliau minta izin kepada gurunya
Muslim bin Khalid az Zanji untuk pergi ke Madinah menjumpai Imam Malik dan
belajar pada beliau. Imam Syafi’i rahimahullah berangkat ke Madinah pada
tahun 170 H. dengan membawa sepucuk surat dari gurunya Muslim bin Khalid yang
ditujukan kepada Imam Malik bin Anas. Selain itu Imam Syafi’i rahimahullah
membawa surat pula dari Wali Mekkah (semacam Gubernur) kepada Wali Madinah,
dimana Wali Mekkah minta agar kiranya Wali Madinah memperkenankan Imam Syafi’i rahimahullah
belajar kepada Imam Malik bin Anas.
Selama 8 hari 8 malam perjalanan
antara Mekkah dan Madinah dengan mengendarai onta. Imam Syafi’i rahimahullah
membaca Al Quran sebanyak 16 kali khatam/tammat, dengan mengkhatamkan 1 kali
siang dan 1 kali malam. Sesampainya di Madinah beliau langsung menjumpai Imam
Malik bersam dengan Wali Madinah. Imam Malik setelah menerima surat dari Wali
Mekkah yang dialamatkan kepadanya, menyindir dengan mengatakan : “Subhanallah,
menuntut ilmu Rasulullah kok pakai perantara.” Wali Madinah mempersilahkan Imam
Syafi’i rahimahullah berbincang-bincang.
“Mudah-mudahan tuan dikaruniai
oleh Allah”, kata Imam Syafi’i rahimahullah kepada Imam Malik. “Saya
ini dari kaum Muththalib, datang dari Mekkah untuk menuntut ilmu dari tuan guru
karena saya sudah lama mendengar nama tuan guru dan ingin belajar langsung dari
tuan guru.” Sesudah itu Imam Malik memperhatikan Imam Syafi’i seketika dan
beliau berkata, “Siapa namamu?” Imam Syafi’i menjawab, “Muhammad bin Idris.”
Imam Malik menyambung, “Hai Muhammad, bertaqwalah kepada Allah, dan jauhilah
segala kedurhakaan. Saya melihat kepadamu ada sesuatu yang akan terjadi.
Baiklah, besok datanglah lagi dan akan saya suruh orang membacakan Al Muwatha’
kepadamu.”
Jawab Imam Syafi’i, “Tak perlu
dicarikan orang lain karena saya sudah menghafal di luar kepala Kitab Al
Muwatha’ itu. Imam Malik menjawab, “Kalau begitu keadaannya, cobalah baca .”
Imam Syafi’i rahimahullah lantas membaca kitab Al Muwatha’ yang langsung
didengar oleh Imam Malik dengan seksama dan di sana-sini membetulkan
pembacaan-pembacaan Imam Syafi’i yang lancar itu. Imam Malik sangat kagum
melihat Imam Syafi’i muda ini, karena masih dalam usia muda remaja sudah
mendalam ilmunya, sudah mahir dalam arti ayat-ayat suci Al Quran, hadits-hadits
Nabi dan kaedah-kaedah bahasa Arab. Kemudian Imam Syafi’i rahimahullah
tetap setiap hari mendatangi halakah tempat Imam Malik mengajar di mesjid
Madinah di mana beliau bersama-sama pelajarpelajar lain yang terdiri dad
Ulama-ulama Besar dari seluruh penjuru mendengar dan mencatat
pengajian-pengajian yang diberikan oleh Imam Malik, seorang Ulama Besar dan
lmam Mujtahid yang jarang tandingannya.
Akhirnya Imam Syafi’i rahimahullah
mendapat kepercayaan besar dari Imam Malik dan lantas diundang menginap di
rumahnya dan setiap hari datang ke mesjid bersama-sama sebagai pembantunya
dalam mengajarkan kitab Al Muwatha’ dan lain-lain. Imam Malik membacakan
kitabnya kepada murid-murid dan sesudah itu Imam Syafi’i rahimahullah
(yang ketika itu belum berpangkat Imam Mujtahid) membantu Imam Malik
mendiktekan (mengimlakkan) kitab karangan Imam Malik itu kepada sekalian
mahasiswanya.
Ada kira-kira setahun Imam
Syafi’i rahimahullah tidak berpisah dengan Imam Malik, selalu dengan
beliau sebagai murid dan sebagai pembantu. Dengan cara begitu Imam Syafi’i rahimahullah
mendapat kenalan
banyak dari Ulama-ulama yang
datang ke Madinah sesudah menunaikan ibadah haji dan datang belajar kepada Imam
Malik. Di antara orang-orang yang berkenalan dengan Imam Syafi’i rahimahullah
ketika itu adalah Abdullah bin al Hakam dari Mesir (Kairo), yang kemudian di
waktu Imam Syafi’i rahimahullah datang ke Mesir, beliau berkunjung ke
rumah Abdullah bin al Hakam ini. Juga Imam Syafi’i rahimahullah
berkenalan dengan Asyhab lbnul Qasim dan aI Laits bin Sa’ad, yaitu ulama-ulama
Mesir yang berkunjung ke Madinah yang telah mendengar Imam Syafi’i mendiktekan
kitab al Muwatha’. Dan juga Imam Syafi’i rahimahullah berkenalan dengan
Ulama-ulama Iraq yang berkunjung ke Madinah sesudah menunaikan ibadah haji.
Banyak sekali diantara mereka yang datang menguniungi halakah Imam Malik dan
mendengar imlak dari Imam Syafi’i rahimahullah yang bijak itu.
Pada ketika itulah Muhammad bin
Idris mendengar bahwa di Bagdad dan Kufah banyak sekali terdapat ulama-ulama
murid dari Imam Abu Hanifah (pembangun dari Madzhab Hanafi), sehingga tertarik
hati beliau hendak mengunjungi lraq dan Mesir.
(Bersambung ke Bag. 4)
No comments:
Post a Comment