Kembali ke Mekkah Al Mukarramah
Setelah usia Imam Syafi’i rahimahullah
2 tahun, ia dibawa ibunya kembali ke Mekkah al Mukarramah, yaitu kampung
halaman beliau, dan tinggal di Mekkah sampai usia 20 tahun, yakni sampai tahun
170 H. Dalam angka 20 ini terdapat perbedaan-perbedaan dalam catatan sejarah,
ada yang mengatakan sampai usia 13 tahun, ada yang mengatakan sampai usia 14
tahun, ada yang mengatakan sampai usia 20 tahun dan ada yang mengatakan sampai
usia 22 tahun. Tetapi penulis buku ini sesudah memperhatikan dari
bermacam-macam segi, agak condong berpendapat bahwa Imam Syafi’i rahimahullah
tinggal di Mekkah sampai usia 20 tahun dan sesudah itu pindah ke Madinah al
Munawwarah. Perbedaan angka ini tidak prinsipil, yang terang beliau tinggal di
Mekkah di waktu kecil dan setelah muda remaia pindah ke Madinah.
Selama beliau di Mekkah, Imam
Syafi’i rahimahullah berkecimpung dalam menuntut ilmu pengetahuan,
khusus yang bertalian dengan Agama Islam sesuai dengan kebiasaan anak-anak kaum
Muslimin. Sebagai dimaklumi bahwa dalam seiarah pada abad I dan II tahun
Hijrah, ummat Islam boleh dikatakan dalam masa, keemasan, sedang memuncak
membubung tinggi. Agama Islam sudah tersiar luas, ke Barat sampai ke Marokko
dan Spanyol, ke Timur sudah sampai ke Iran, ke Afganistan, ke India Selatan, ke
Indonesia dan ke Tiongkok dan di Afrika sudah hampir pada seluruh daerah. Pada
abad-abad itu yang berkuasa adalah Khalifah-khalifah Ar Rasyidin,
Khalifah-khalifah Bani Ummayyah dan Khalifah-khalifah Bani ‘Abbas, yang
terkenal bukan saja dalam keberanian, tetapi juga dalam memperkembangkan ilmu
pengetahuan.
Dalam masa Khalifah-khalifah
Harun ar Rasyid (170 – 193 H) dan al Makmun (L98 – 218 H) rerkenal sebagai masa
yang memuncak tinggi kedudukan ilmu pengetahuan. Dalam Agama Islam yang sangat
dipatuhi orang ketika itu, baik dalam Hadits-hadits Nabi maupun dalam al Quran,
banyak sekali terdapat petunjuk-petunjuk yang menganjurkan dan mengerahkan
rakyat supaya belajar segala macam ilmu pengetahuan, khususnya yang bertalian
dengan Agama. Sesuai dengan ini maka Imam Syafi’i rahimahullah pada masa
mudanya menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu pengetahuan. Markas-markas
ilmu pengetahuan ketika itu adalah di Mekkah, di Madinah, di Kufah (Iraq), di
Syam (Damsyik) dan di Mesir. Oleh karena itu seluruh pemuda mengidam-idamkan
dapat tinggal di salah satu kota itu untuk berstudi, untuk mencari ilmu
pengetahuan dari yang rendah sampai yang tinggi.
Imam Syafi’i rahimahullah
belajar membaca al Quran kepada lsma’il bin Qusthanthein. Dalam usia 9 tahun
Imam Syafi’i telah menghafal ketiga puluh juznya al Quran di luar kepala.
Catatlah ini, yaitu : Dalam usia 9 tahun. Imam Syafi’i pada mulanya tertarik
dengan prosa dan puisi, sya’ir-sya’ir dan sajak-sajak bahasa Arab klasik,
sehingga beliau sewaktu-waktu datang ke Qabilah-qabilah Badui di Padang Pasir,
Qabilah Hudzel dan lain-lain. Kadang-kadang beliau tinggal lama di
Qabilah-qabilah itu untuk mempelajari sastra Arab sehingga akhirnya Imam
Syafi’i rahimahullah mahir dalam kesusasteraan Arab kuno dan beliau
menghafal di luar kepala sya’ir dari lmrun-ul Qois, Sya’ir Zuheir, Sya’ir Jarir
dan lain-lain. Hal ini kemudian ternyata ada baiknya karena dapat menolong
beliau memahamkan al-Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab yang fasih, y ang
asli dan yang murni.
Tersebutlah dalam sejarah yang diceritakan
oleh Mush’ab bin Abdillah az Zabiri, sebagaimana termaktub dalam kitab “al
Majmu’” bahwa Imam Syafi’i rahimahullah pada waktu mudanya hanya
tertarik kepada puisi, sya’ir-sya’ir dan sajak bahasa Arab klasik, tetapi
kemudian beliau terjun mempelajari hadits dan fiqih. Sebabnya ialah bahwa pada
suatu hari ia mengendarai onta. Dibelakangnya ada seorang lain, yaitu jurutulis
bapak saya, kata Mush’ab. Muhammad bin Idris ketika itu berdendang dan
bernyanyi mendengungkan sebuah sya’ir. Jurutulis bapak saya mengetok dengan
tongkatnya dari belakang dan menegurnya : ‘Akh, pemuda seperti kamu
menghabiskan kepemudaannya dengan berdendang dan bernyanyi; alangkah baiknya
kalau waktu kepemudaanmu ini dipakai untuk mempelajari hadits dan fiqih!”
Berkata Mush’ab, bahwa teguran inilah sebab yang menggerakkan hati Imam Syafi’i
rahimahullah untuk mempelajari ilmu hadits dan fiqih dan kemudian beliau
datang belajar kepada Mufti Mekkah, Muslim bin Khalid al Zanji dan Ulama hadits
Sofyan bin ‘Uwaniah. (wafat 198 H).
Inilah di antara guru Imam
Syafi’i rahimahullah dalam ilmu hadits dan Fiqih. Selain daipada itu
Imam Syafi’i rahimahullah menceritakan tentang diri beliau, begini :
“Saya pada mulanya mempelajari
ilmu Nahwu (gramatika) dan Adab (kesusasteraan), kemudian setelah saya datang
kepada Muslim bin Khalid beliau bertanya, Hai Muhammad; kamu darimana?” Jawabku
; “Saya orang sini, orang Mekkah”. “Dari kampung mana?” “Dari kampung Khaif “.
“Dari kabilah apa?” “Dari kabilah Abdu Manaf”. “Bakhin, bakhin (senang, senang
sekali), Tuhan telah memuliakan kamu dunia akhirat. Alangkah baiknya kalau
kecerdasan kamu itu ditumpahkan pada ilmu fiqih, inilah yang baik bagimu”.
Kemudian ucapan Imam Muslim bin Khalid inilah sebab yang menggerakkan hati saya
untuk mempelajari ilmu fiqih ssedalam-dalamnya, kata Imam Syafi’i rahimahullah.
Apakah ilmu fiqih itu?
Fiqih dalam bahasa Arab berarti
pengertian, kefahaman dan dalam Islam berarti ilmu pengetahuan tentang
hukum syari’at Islam sesuai dengan dalilnya satu persatu, umpama, shalat
hari raya hukumnya sunnat, sesuai dengaan hadits itu. Riba hukumnya haram,
sesuai dengan firman Tuhan, perkawinan tanpa wali tidak sah, sesuai dengan
hadits Nabi, minum arak haram sesuai dengan al Quran dalam surat itu dan lain
sebagainya.
Orang yang ahli dalam ilmu fiqih
disebut “Faqih”, jama’nya “Fuqaha”. Kalau ada seorang Muslim yang sampai
derajatnya kepada “Faqih” maka itu satu bukti bahwa Tuhan telah menetapkan dia
menjadi orang baik-baik sesuai dengan sabda Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam :
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ
خَيْرًايُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ
Artinya : ” Barangsiapa yang
dikehendaki oleh AIIah untuk menjadi orang baik-baik maka ia difaqihkan dalam
agama” (hadits riwayat Bukhari dan Muslim, lihat Fathul Bari juz l, hal 173 dan
Syarah Muslim juz Vll, halaman 128).
Arti “di-faqihkan” ialah
dipintarkan. Di samping ilnu fiqih ada lagi ilmu Ushul-fiqih. Ilmu ushul fiqih
ialah ilmu untuk mengetahui qaedah-qaedah (pokok-pokok, norma-norma) yang mana
dengan qaedah- qaedah itu dapat diistinbathkan (dikeluarkan) hukum-hukum
syari’at dari dalil-dalilnya. Imam Syafi’i rahimahullah orang yang
mula-mula menciptakan ilmu ushul fiqih ini.
Imam Syafi’i ketika usia mudanya
di Mekkah, mempelajari selain ilmu fiqih juga ilmu tafsir, ilmu hadits dan ilmu
Mustalah Hadits. Apakah yang dikatakan ilmu tafsir itu ? Ilmu tafsir ialah
pengetahuan untuk hal ihwaI yang bertalian dengan Kitab Suci AI-Quran, umpama
sebab-sebab turunnya ayat, arti dan ma’na ayat dalam bahasa Arab, maksud dan
tujuan ayat itu yang sesuai dengan kehendak Tuhan yang menurunkan ayat,
mentak’wilkan apa yang patut dita’wilkan, hubungan antara satu ayat dengan yang
lain, penafsiran ayat yang satu pada yang lain, mana yang nasekh dan mana yang
mansukh, mana ayat yang diturunkan di Mekkah dan mana yang diturunkan di
Madinah dan lain-lain sebagainya. Imam Syafi’i rahimahullah di waktu
remajanya mempelajari ilmu tafsir ini.
Apakah itu ilmu Mustalah Hadits ?
Ilmu Mustalah Hadits ialah ilmu
tentang keadaan Hadits, keadaan matan hadits, sanad hadits, orang yang membawa
hadits itu dan lain-lain sebagainya yang bertalian dengan hadits. Orang-orang
yang mengetahui ilmu Mustalah Hadits akan mengetahui dengan mudah bahwa hadits
itu sahih, hadits ini hasan (baik), hadits ini dha’if (lemah), hadits itu
muqathi'(putus sirawinya) dan lain-lain sebagainya. Pendeknya Imam Syafi’i rahimahullah
ketika di Mekkah itu mempelajari ilmu fiqih, ilmu hadits, ilmu ushul fqih, ilmu
mustalah hadits, ilmu tafsir dan ilmu tajwid (pembacaan Al-Quran). Adalah
kenyataan bahwa Imam Syafi’i dalam usia 9 tahun telah hafal Al-Quran di luar
kepala dan dalam usia 10 tahun sudah pula hafal di luar kepala kitab fiqih
karangan Imam Malik yang bernama Al Muwatha’.
Sepanjang sejarah dinyatakan
bahwa Imam Syafi’i rahimahullah membagi malam menjadi tiga bagian, yaitu
sepertiga untuk belajar dan mengajar, sepertiga untuk beribadat dan munajat
kepada Tuhan dan sepertiga lagi untuk tidur. Kalau siang hari dari pagi sampai
waktu dzuhur Imam Syafi’i rahimahullah bekerja dalam soal-soal ilmu
pengetahuan. Bekerja dari jam 8 pagi sampai dzuhur sebagai yang dipraktekkan
orang sekarang adalah atas perunjuk Imam Syafi’i rahimahullah pada
mula-mulanya.
Dalam usia 18 tahun (dalam satu
riwayat 15 tahun) Imam Syafi’i rahimahullah telah diberi izin oleh
gurunya Muslim bin KhaIid Az Zanji untuk mengajar di Masjidil Haram (Masjid
Mekkah) sehingga mengagumkan orang-orang haji yang naik haji ke Mekkah pada
tahun-tahun itu.
(Bersambung ke Bag. 3)
No comments:
Post a Comment