Friday 24 June 2011

HARTA WARISAN DALAM HUKUM ISLAM

HARTA WARISAN DALAM HUKUM ISLAM

1. Pengertian Harta Warisan
Sebagaimana harta warisan dalam hukum Islam merupakan suatu permasalahan yang sangat unik sekali, dan ini adalah suatu harapan yang nantinya akan dialami oleh setiap manusia.
Adapun dalam hal ini agar untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas dan konkritnya di dalam hal membahas mengenai pengertian dari harta warisan tersebut, maka dengan adanya semacam ini perlu diperhatikan tentang kedudukan hukum waris di dalam hukum Islam. Memang hal ini amat penting dalam hukum Islam, kecuali hukum waris yang langsung menyangkut dalam harta benda yang tidak diberikan ketentuan-ketentuan yang pasti, maka hal semacam ini akan mudah menimbulkan suatu sengketa antara ahliwaris yang satu dengan ahliwaris yang lainnya.
Sedemikian dengan hal pentingnya kedudukan hukum waris dalam hukum Islam, yang telah ada dalam hadits Sahih yakni tentang riwayat Ibnu Majah dan Addaraquthni sebagaimana yang telah mengajarkan yaitu pelajarilah faridl dan ajarkanlah kepada banyak orang, karena faridl adalah separoh ilmu yang pertama kali hilang dari umatku.

Dengan demikian hal di atas, maka timbul suatu pengertian tentang apakah pengertian warisan itu sebenarnya, karena varisan itu sendiri merupakan suatu hubungan hukum yang sangat erat sekali dengan manusia yang satu dengan yang lainnya, sehingga dengan adanya hal semacam ini, maka akan saling mempengaruhi dari kedua belah pihak untuk rasa ingin menikmati atau memperoleh warisan tersebut yang telah ditinggalkan oleh si pewaris.
Kemudian dengan adanya beberapa hal semacam ini, maka timbul suatu pengertian warisan. Adapun pengertian warisan yang sebagaimana telah dinyatakan oleh R. Wirjono Prodjodikoro, yakni dalam bukunya yang berjudul Hukum Waris Di Indonesia, dikatakan bahwa:
“Pengertian warisan adalah suatu cara penyelesaian dengan perhubungan-perhubungan hukum di dalam marsyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang manusia, maka dapat pula ditegaskan selaku pengertian “warisan” ialah, bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.
Sebelum apa yang akan dijelaskan lebih lanjut tentang sesuatu yang dimaksud dalam pengertian harta warisan yaitu yang tertera di dalam hukum Islam, maka lebih dulu harus diketahui tentang apa ujud dari harta warisan dalam hal ini.
Sedangkan ujud dari harta warisan di sini nampak ada suatu perbedaan antara hukum adat serta hukum Islam maupun dalam hukum barat ( BW ), yaitu dalam perihal hutang-hutang dari si pewaris. Sebagaimana hal ini telah dijelaskan oleh Ngakan Putu Muderana, yakni dalam bukunya yang berjudul Bab-bab Tentang Hukum Adat Waris bahwa:
“Hukum adat dan hukum Islam, pada hakekatnya yang beralih dari tangan si wafat kepada ahliwaris adalah harta peninggalan dalam keadaan bersih, maksudnya setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang dari si peninggal warisan dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal warisan”.
Lain halnya dengan hukum barat ( BW ) sebagaimana perihal hutang-hutang dari si pewaris, bahwa :
“Selalu hakekat, bahwa yang diwaris oleh para ahliwaris bukanlah hal-hal yang bermantaat saja bagi mereka tetapi juga hutang-hutang dari si peninggal warisan, dalam arti bahwa kewajiban membayar hutang itu pada hakekatnya beralih juga kepada para ahliwaris”.
Sebagaimana telah mendapatkan gambaran tentang suatu ujud dari harta warisan di atas, maka di sini dapat disimpulkan apa arti dari harta warisan itu. Adapun dalam pengertian harta warisan itu sendiri yang sedikit banyak telah saya dapatkan dari beberapa kesmpulan literatur-literatur dalam buku hukum Islam,bahwa pengertian warisan adalah suatu hal yang timbul apabila adanya seseorang yang telah wafat yang kemudian meninggalkan suatu kekayaan, baik hal yang berupa harta maupun barang-barang lainnya yang diperoleh dalam selama perkawinan atau adanya harta bawaan dari masing-masing pihak, sehingga di sini dapat diartikan sebagai pengertian harta warisan tersebut, yaitu hal yang perlu diperhatikan adalah untuk dalam mengatasi atau yang harus diketahui dalsm hal warisan adalah lebih dulu mengenai kewajiban-kewajiban dari yang meninggal dunia, yakni untuk menyelesaikan hutang-hutang atau biaya-biaya lainnya yang menyangkut tentang penguburan, yang berdasarkan agama dan keperdataan.

2. Prinsip-prinsip HukumWaris Islam
Adapun tentang prinsip-prinsip hukum waris Islam tersebut merupakan suatu gambaran, yang nantinya akan memberikan jalan tengah dalam pembagian waris di dalam hukun Islam.
Dan sebelum nenguraikan mengenai prinsip -prinsip tersebut, maka dapat kita ketahui sebagaimana dalam kedudukan hukum waris Islam, yang telah dijelaskan lebih dulu di dalam Bab II di atas.
Kemudian hukum waris itu timbul pada saat terjadinya suatu peristiwa kematian dari seseorang, sehingga setelah itu dapat disimpulkan apa prinsip dari hukum Islam hal ini diuraikan sebagai berikut, memang di dalam hokum waris Islam sangat netral yaitu dalam memberi suatu kebebasan dalam pemindahan harta peninggalan krpada seseorang yang disukai, dengan jalan pemberian wasiat, tetapi dalam hukum Islam tidak mengenal penggantian waris, karena hal ini sudah ada ketentuan dalam pembagian waris yang nantinya akan diperoleh dari ahliwaris yang berhak menerimanya.
Suatu contoh : sebagaimana menjamin seorang perempuan untuk mendapatkan bagian dalam harta peninggalan dari orang tuanya tersebut, dan keluarga yang lebih dekat hubungannya dengan mayat, ini yang harus diutamakan daripada yang jauh, sebab di sini perlu diketahui,bahwa sebelum harta tersebut dibagikan, maka ahliwaris-ahliwaris harus memperhatikan mengenai kewajiban-kewajiban dari si meninggal apakah pada waktu dia masih hidup mempunyai hutang-hutang, maka hal inilah yang perlu sekali, karena hal ini apabila tidak lebih dulu diselesaikan, maka banyak pembicaraan-pembicaraan dari orang bahwa nanti kalau diakherat akan ditagih kelak.
Sebenarnya hal semacam ini tidak benar, tetapi mungkin sudah merupakan suatu kewajiban dari ahliwarid untuk menyelesaikan hal-hal semacam ini gunanya jangan sampai timbul suatu permasalahan.
Sebagaimana permasalahan ini dapat memberatkan kepada ahliwaris, dan apa yang ditinggalkan oleh si peninggal waris, naka untuk lebih praktis dan konkritnya dalam penjelasan tentang prinsip-prinsip hukum waris Islam diperlukan dan kami penuhi atau tambahi dari beberapa prinsip-prinsip yang ada dalam hukum waris Islam pada hal-hal seperti ini telah dijelasken oleh seorang sarjana yang bernama, H. Ahmad Azhar Basyir, bahwa:
“hukum waris Islam membedakan besar kecil bagian waris yang diselaraskan dengan kebutuhannya dalam hidup sehari-hari, disamping memandang jauh dekat hubungannya dengan mayit.
Dan ada juga hukum warid Islam lebih cenderung untuk membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin ahliwaris, dengan memberikn bagian-bagian tertentu kepada beberapa ahliwaris, misalnya harta waris terdiri dari ayah, ibu, suami atau anak-anak, mereka semua berhak atas harta warisan”.
Memang di dalam hukum waris Islam ada berbagil prinsip yang sebagaimana telah diutarakan oleh H. Ahmad Azhar Basyir banyak membedakan dari segi-segi hak anak-anak atas harta warisan mengenai besar kecil ahliwaris. Sedangkan pembagian harta warisan dalam Hukum Islam hanya dikenal dengan angka pecahan saja, yaitu 2/3, 1/2, 1/3, ¼, 1/6, dan 1/8.
Sebagaimana ketentuan yang semacam ini sudah diatur dalam Al-Qur’an yang dicantumkan dalam surat An-Nisa ayat 13 yang berbunyi : bahwa ketentuan bagian-bagian harta warisan itu berasal dari Allah yang wajib mentaati.
Ada pula di dalam prinsip yang lain sebagaimana hal yang diuraikan oleh seorang sarjana seperti hal di atas yaitu:
“Warisan adalah ketetapan hukum; yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahliwaris dari haknya atau harta varisan, dan ahliwaris berhak atas harta warisan tanpa perlu kepada pernyataan menerima dengan sukarela atau atas keputusan hakim.
Tetapi tidak berarti bahwa dengan demikian ahliwaris dibebani melunasi utang-utang mayit”.
3. Hak Anak Yang Di1ahirkan Dari Kawin Sirih Dalam Harta Peninggalan
Di. dalam pengertian warisan yang sebagaimana telah dijelakan, bahwa seseorang yang berhak mewaris adalah orang yang telah mempunyai hubungan darah dengan si pewaris, adapun dalam hal ini si ahliwaris yang merupakan ahliwaris mutlak dari anak keturunan dari kedua orang tua tersebut, Jadi di sini dalam anak yang dilahirkan dari kawin sirih pun dia berhak mendapatkan harta warisan tersebut, karena dia mempunyai hubungan darah juga dengan ayah serta ibunya.
Adapun 11 dalam hal ini anak merupakan suatu keturunan di mana untuk meneruskan kehidupan dari si pewaris kee jenjang selanjutnya, maka di sini anak merupakan ahliwaris penting yang sebagaimana dijelaskan di dalan bukunya Ngakan Putu Muderana, yang berjudul Bab-bab Tentang Hukam Adat Waris, bahwa:
“Anak-anak dari si peninggal warisan merupakan golongan ahliwaris yang terpenting jika dibandingkan dengan yang lainnya, oleh karena mereka pada hakekatnya merupakan satu-satunya golongan ahliwaris, apabila si wafat meninggalkan anak-anak”.
PEMBAGIAN HARTA WARISAN DITINJAU DARI BERBAGAI SEGI

1. Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam
Sebelum membahas dan apa yang diuraikan dalam pokok permasalahan sebagaimana yang menyangkut tentang pembagian harta warisan, maka di sini lebih dulu harus mengetahui siapa yang berhak untuk mendapat harta warisan terserbut, sehingga dengan hal inilah nantinya akan mendapatkan suatu gambaran, tetapi hal semacam ini memang merupakan suatu permasalahan yang sering terjadi di ka1angan masyarakat, baik masyarakat yang berada di Jawa maupun di luar Jawa. Hal ini tidak akan lepas dari pemikiran setiap manusia.
Adapun dalam menghadapi masalah seperti ini bukan merupakan hal yang mudah dan gampang, akan tetapi merupakan suatu masalah yang unik sekali, terutama dalam pembagian nanti, karena di dalam hukum Islam banyak ditemui dengan adanya angka-angka pecahan yang telah ditentukan dalam Qur’an atau dalam aunnah Rasul, yang antara lain disebutkan 2/3, 1/2, 1/3, 1/6, dan 1/8.
Kemudian setelah nengetahui apa yang ada dalam permasalahan di atas, yang berhak mewaris dalam hal ini adalah seorang yang meupunyai suatu hubungan darah dengan si pewaris, tetapi sebelum pembagian harta warisan dibagikan kepada masing-rnaaing ahliwaris yang menerimanya, maka dari itu harus melihat beberapa syarat dalam pembagian:
1. dengan adanya kematian;
2. dengan adanya ahliwaris yang masih hidup pada saat meninggalkan pewaris;
3. adanya harta peninggalan.
Baru hal ini dapat dibagikan tetapi lebih dulu melihat ke belakang yaitu mengenai hal-hal yang penting dari diri si pewaris di saat masih hidupnya apakah tidak mempunyai hutang-hutang baik yang berupa barang maupun mergenai uang, maka hal yang seperti inilah sangat penting untuk diperhatikan oleh setiap ahliwaris, oleh karena dalam hukum Islam hal semacam ini sudah merupakan suatu kewajiban para ahliwaris, di mana dalam menyeslesaikan tentang biaya-biaya pemakaman atau hutang-hutangnya yang belum dilunasi oleh si pewaris, maka dari itu perlu diselesaikan lebih dulu, karena agar si meninggal pada waktu kembali ke akherat dalam keadaan bersih dengan tidak meninggalkan hutang-hutang, adapun hal ini untuk mempermudah lancarnya si yang meninggal dalam Tuhan.
Lain halnya seperti yang telah diungkapkan oleh R. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul Hukum Warisea Di Indonesia, tentang kewajiban ahliwaris dikatakan bahwa :
“Tentang biaya pembayaran menguburkan mayat di dalam hukum Islam dianggap selaku hutang dari harta warisan, jadi harus dibayar lebih dulu sebelum harta warisan dibagi di antara para ahliwaris”.
Memang dalam hukum Islam sudah merupakan kewajiban ahli waris, biarpun ini bukan merupakan suatu keharusan ahliwaris unuk melunasinya. Apalagi harta yang diterima oleh ahliwaris tidak mesti mencukupi untuk melunasi hutang-hutangnya, tetapi ahliwaris tersebut dengan sukarela untuk melunasinya, agar si pewaris yang wafat dalam keadaan suci dan bersih serta tenang di alan akherat.
Hal ini hampir banyak dilakukan di daerah Jawa yang sebgaimana dalam bukunya Ngskan Putu Muderan tentang Bab Hukum Adat Waris dikatakan bahwa :
“Di Jawa, bahwa orang menganggap hanya harta peningalan-peninggalan pewaris dapat digunakan untuk melunasi hutang-hutangnya, sehingga harta peninggalan itu belum boleh dibagi-bagi dulu, sebelum hutang pewaris dtbayar dari harta peninggalan tersebut”.
Setelah apa yang saya uraikan di atas baru kemudian untuk melangkah dalam pembagian harta warisan dalam hukum Islam. Adapun dalam hukum Islam mengenai hal pembagian ada suatu perbedaan prinsipiil tentang anak laki-laki dengan anak perempuan dalam mendapatkan warisan. Pada hakekatnya anak laki-laki dianggap sebagai ahliwaris yang berhak atas harta warisan dari si pewaris yang meninggal dunia.
Kemudian apa yang telah dijelaskan atau diulas oleh Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul Hukum Warisan di Indonesia, mengatakan bahwa:
“Dengan adanya pengaruh hukum agama Islam tentang hal ini ternyata terlihat adanya perihal pembagian harta warisan antara laki-laki dan anak perempuan yaitu bahwa lelaki mendapatkan dua kali lipat bagian anak perempuan, dan kebiasaannya di Jawa Tengah tetapi dari beberapa desa saja oleh Djojodiguno dan Tirtawinata lihat bukunya halaman 330”.

Sementara dalam dugaan saya hal semacam ini sudah merupakan hal yang kurang keadilannya, sebab apa yang diterangkan dalam hukum Islam adalah yang berhak mewaris orang yang mempunyai hubungan darah dengan si pewaris. Jadi alangkah baiknya kalau anak perempuan dalam mendapatkan bagiannya sama dengan anak laki-laki. Sebagaimana sesuai apa yang telah ditemukan oleh seorang yang bernama M.Gondokusumo dan Emanuel dalam penyelidikannya di daerah Magelang pada tahun 1983, lalu lihat masalah Indisch Tijdschrift Van het Recht bagian halaman 149.
Kemudian setelah itu dalam bukunya R. Wirjono Prodjodikuro dijelaskan 1agi oleh Gondokusumo dan Emanuel diusulkan dalan Kongres ke II dari ISHI di Bandung bulan September 1959 yang memuat tentang Undang-undang Pokok-pokok Hukum Warisan antara lain mengatakan :
a. bahwa dalam pembagian harta warisan bagian anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama;
b. bahwa apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak baik lelaki maupun perempuan, maka semua harta warisan jatuh pada anak-anak itu di samping janda si peninggal warisan”.
Kemudian setelah apa yang dijelaskan dari beberapa permasalahan di atas, bahwa sesudah para ahliwaris telah melunasi kewajibannya yang sebagaimana untuk membayar hutang-hutangnya maupun biaya penguburan si pewaris. Baru kemudian sisa dari harta tersebut dapat dibagikan kepada masing-masing ahliwaris, sebagaimana yang sesuai dengan peraturan hukum Islam.
Dan andaikata yang meninggal lebih dulu adalah si suami, maka harta tersebut diwaris oleh keturunannya atau anaknya baik laki-laki atau perempuan sama-sama mempunyai Hak untuk mewaris, cuma saja berbeda bagiannya antara laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1 suatu contoh; anak lelaki mendapatkan dua kali lipat dari bagian anak perempuan masih hidup, dan andaikata tidak ada anak, maka naik ke atas yaitu orang tua dari suami, tetapi kalau ada anak, ayah dan ibu mendapat seperenam dari seluruh harta warisan, dan kalau tidak punya anak mereka berdua mendapatkan sepertiga bagian. Dan andaikata tidak ada ayah dan ibu, maka harta warisan tersebut turun ke samping yaitu saudara-saudara dari si suami memperoleh sepertiga bagian, dan kalau hanya seorang saudara saja, maka bagiannya setengah bagian, saudara perempuan dua pertiga bagian, dan kalau hal ini saudara tidak ada, make jatuh pada sanak saudara yaitu setengah bagian dari harta warisan tersebut.

2. Pembagian Harta Warisan Menurut Barat ( BW )
Jika kalau berbicara mengenai warisan banyak menyalurkan suatu pemikiran dan perhatian orang dalam suatu kejadian yang penting, sebagaimana dengan adanya seseorang manusia selama masih hidupnya, mempunyai suatu tempat dalam masyarakat dengan disertai pelbagai hak dnn kewajiban terhadap barang-barang yang berada di dalamnya, sehingga dengan adanya suatu permasalahan seperti ini, maka timbul suatu pemikiran manusia di salah satu pihak yang saling mempengaruhi sebagaimana ingin memiliki atau mendapatkan warisan tersebut, dengan demikian sebelum saya didahulukan untuk mengupas tentang hal pembagian warisan dalam BW, maka lebih dulu untuk dapat menguraikan pengertian dari warisan, sebagaimana warisan adalah kekayaan atau barang-barang yang ditinggalkan oleh seseorang yang pada waktu meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Lalu kemudian siapa mereka-mereka yang berhak terhadap harta warisan tersebut di dalam BW.
Kemudian dengan hal semacam ini dapat suatu gambaran di mana dalam menguraikan pembagian harta warisan.
Di dalam hukum BW dan hukum Islam ditemui beberapa perbedaan dalam hal mengenai pembagian harta warisan di antaranya; warisan dalam BW dengan keadaan kotor bagiannya, karena setelah harta warisan diterima baru membayar hutangnya si pewaris. Dan dalam hukum Islam harta warisan dibagikan dengan keadasn bersih, yaitu harta yang diterima sisa dari melunasi hutang-hutangnya si pewaris. Tetapi dalam pembagian dalam BW tidak menutup kemungkinan kalau ahliwaris menolaknya, karena mungkin hutangnya si pewaris nilainya lebih besar dari harta yang diterima.
Tetapi sebagaimana dalam hukum BW, bahwa ahliwaris dibagi menjadi 4 golongan yang bergilir atas harta warisan dengan penggantian, adapun hal ini telah dijelaskan oleh R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, bukunya tentang Hukum Waris, bahwa ahliwaris yang berhak atas harta warisan dengan panggantian antara lain :
1. anak-anak dan atau keturunan dan janda;
2. orang tua saudara-saudara sekandung dan atau anak-anak keturunannya;
3. kakek-kakek dan nenek-nenek, dan leluhur seterusnya ke atas daripada pewaris;
4. sanak keluarga yang lebih jauh dalam garis ke samping sampai pada derajat yang keenam”.
Jadi, kalau kita lihat di dalam pewarisan antara hukum Islam dan hukum BW ada suatu perbedaan bahwa dalam hukum BW tidak membedakan entara anak lelaki dan anak perempuan sama-sama berhak dan juga dalam pembagiannya sama 1:1, lain halnya kalau hukum Islam anak laki-laki mendapatkan 2 kali lipat dari bagian anak perempuan.
Dan juga di dalam Burgerlijk Wetboek dalam hal pembagian tidak ada ketentuan terhadap ahliwaris, adapun hal ini telah dijelaskan oleh R, Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Warisan Di Indonesia yang mengatakan:
“Burgerlijk Wetboek pun tidak menentukan cara tertentu apabila para ahliwaris semua menurut hukum mampu untuk melakukan perbuatan hukum yang sah dan apabila mereka semua ada hadir (pasa1 1069 BW)”
Jadi, di dalam pembagian harta warisan dalam BW ada suatu cara yang tersendiri antara lain, andaikata yang meningga dulu si suami, maka harta warisan tersebut jatuh pada golongan yang pertama yaitu kepada anak-anak dan tidak ada suatu perbedaan, bahwa laki-laki dan perempuan sama yaitu 1 : 1.
Andaikata golongan pertama tidak ada maka yang berhak golongan kedua yaitu masing-masing sepertiga bagian dan jika ada saudara lebih dari satu bagiannya seperempat, apabila ibu atau bapak sudah wafat lebih dulu, maka bapak atau ibu yang masih hidup, mendapat setengah bagian, kalau hanya ada seorang saudara ( lelaki atau perempuan sama saja ) yaitu ibu dan ayah sepertiga dan kalau lebih dari satu mendapatkan seperempat bagian.
Jika tidak ada golongan yang kedua, maka yang berhak golongan yang ketiga yaitu harta tersebut lebih dahulu dibagi dua, untuk anak keluarga dan pancer ayah si wafat mendapatkan separoh bagian.
Bila dalam golongan yang ketiga tidak ada, maka warisan jatuh pada golongan keempat yaitu separoh bagian dari pancer ayah atau ibu jatuh pada saudara-saudara sepupu dari si yang meninggal.

MASALAH HAK MEWARIS
DARI ANAK YANG DILAHIRKAN DARI KAWIN SIRIH
MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974

1. Sah tidaknya Perkawinan Sirih Menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Sebagaimana kalau menyinggung masa1ah perkawinan memang sangat menarik sekali untuk dibicarakan setiap waktu, karena perkawinan itu merupakan bagian dari hidup manusia itu sendiri.
Adapun perkawinan itu secara sadar atau tidak adalah sangat mahalnya suatu sarana pembangunan hidup manusia, sehingga kelangsungan hidup manusia dapat dilestarikan, sebagai tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan harmonis. Jadi, saat parkawlnan itu ada1ah suatu wujud hasil komunikasi antara seorang pria dan seorang wanita atau masing-masing keluarga dari pihk mempelai pria dengan mempelai wanita sebagaimana biasanya telah dirayakan dengan cukup meriah dan sederhana dalam melaksanakan perkawinan, sehingga dapat dilihat titik tolak dari permasalahan di atas, bahwa hidup bersama antara seorang pria dengan seorang wanita bukannya suatu peraturan yang menguasai hidup bersama, tetapi merupakan hidup bersama secara baik, baik secara phisik maupun secara psikhis atau kedua-duanya merupakan suatu hal yang secara kemasyarakatan, sehingga dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang perkawinan yaitu Undang-undang No. 1 Tahun l974 memerlukan satu perhatian yang meningkat khususnya para ahli hukum dalam bidang perkawinan.
Setelah beberapa hal uraian di atas yaitu yang menyangkut suatu masalah perkawinan, maka di sini ada suatu perkawinan yang sah, tetapi berdasarkan Undang-undang tentang Perkawinan ternyata tidak sah, karena tidak memenuhi syarat dalam pasal 2 ayat (2) nya. Jadi, dalam hal ini timbullah pikiran saya ingin mengupas sebagaimana kalau sah tidaknya perkawinan hanya terpancang pada pasal 2 ayat (2), oleh karena tidak hanya didaftarkan saja, maka kalau melihat perkawinan yang hanya dilakukan dengan penyaksian seorang ulama saja, yang sebagaimana disebut kawin sirih berarti kalau berdasarkan pasal 2 ayat(2) nya perkawinan tersebut dinyatakan tidak sah, dan tetapi bagaimana kalau perkawinan tersebut dilihat isi dari pasal 2 ayat (1) nya apakah hal ini tidak merupakan suatu kelemahan dan mempersempit isi dari pasal 2 ayat (1) nya yang berbunyi : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Memang, kasus semacam ini banyak mengundang perhatian para sarjana-sarjana hukum khususnya dalam bidang perdata yang manyangkut tentang perkawinan, sehingg di sini banyak melontarkan suatu pendapat bahwa perkawinan sirih dikatakan tidak sah, dan ada lagi yang mengatakan sah, sehingga timbullah suatu komplek pendapat. Adapun ada beberapa pendapat yang mengatakan, bahwa sahnya perkawinan bukan terletak pada belum didaftarkannya perkawinan tersebut, tetapi perkawinan yang sudah dilaksanakan menurut rukun agamanya sudah dapat dinyatnkan sah, sebagaimana dalam bukunya H. Saidus Syahar, yang berjudul Undang-undang Perkawinan dan Masalah Pe1akanaannya ( ditinjau dari segi hukum Islam), bahwa :
“Pendapat kedua ini terbanyak di kalangan sarjana hukum sebagaimana beralasan dan berdasarkan kepada ketentuan dalam pasal 2 UU tentang Perkawinan tersebut. Ayat 1 pasal 2 UUP itu terlepas dari ayat 2, sehinngga setiap perkawinan yang dilangsungkan yang memenuhi syarat ( dan rukun ) agamanya dan kepercayaannya itu, menurut hukum ( positif ) telah diakui sah, sebab pendaftaran hanyalah tindakan administratif belaka saja”
Begitu juga dalam dugaan saya, bahwa perkawinan yang di langsungkan menurut agama yaitu dengan jalan disaksikan oleh seorang ulama, dimaksud semacam kawin sirih maka di sini sudah sah, karena hal ini sesuai dengan pasal 2 ayat (1) nya ini menentukan sah tidaknya perkawinan, maka apa arti dari isi pasal 2 ayat (1) dan juga apa hubungannya dengan pasal 2 ayat (2) nya, sehingga seolah-olah dalam pasal tersebut ini mengaharapkan adanya perceraian, sebagaimana nantinya jika ada seseorang yang akan menggugat perceraian di sinilah pasal 2 ayat (2) tersebut berlaku, karena setiap orang yang akan mengajukan gugat cerai dan apabila hal ini dikabulkan maka hakim tidak luput untuk menanyakan surat bukti kawin mereka, berarti pasal 2 ayat (2) nya ini terlepas dengan pasal 2 ayat (1) sebagaimana suatu sah tidaknya perkawinan bukan tenpancang oleh belum didaftarkannya perkawinan, seperti dijelaskan di atas tersebut.
Adapun hal semacam ini yang dimakaud perceraian adalah suatu perbuatan yang dibenci Tuhan, yaitu hal ini telah dijelaskan dalam bukunya A. Rasan, yang berjudul Terjemah Bulughul-Maram menjelaskan :
“Bahwa Rasulullah bersabda sebenci-bencinya barang yang halal di sisi Allah adalah perbuatan perceraian atau talak, beradarkan riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah”
Lain halnya kalau sah tidaknya perkawinan hanya terpancang dalam pencatatan atau pendaftaran saja, maka harus dapat melihat seperti mereka-mereka yang ada di luar Jawa, yaitu bahwa mengenai kantor urusan agama yang sebagaimana merupakan instansi pendaftaran pernikahan hanya berada di kantor kecamatan, bahkan ada juga kecamatan yang belum mempunyai, maka dan itu bagaimana halnya seperti mereka-mereka yang bera di daerah-daerah terpencil yaitu untuk menuju ke tempat pendaftaran saja berpuluh kilometer jauhnya dan sukarnya alat transportasi, apakah hal semacam ini tidak merupakan suatu kesulitan teknis dalam melakuken pencatatan atau pendaftaran perkawinan tersebut.
Dan kalau kita lihat dan telaah lagi tentang hal di atas tersebut, bahwa bila keabsahan perkawinan jika di hubungkan dengan pasal 2 ayat (2) nya, apakah tidak menimbulkan suatu beban lagi bagi mereka dan lagi tidak suatu kemungkinan mereka yang ekonominya lemah, oleh karena perkawinan Islam ( kawin sirih ), maka ini adalah untuk menghindari umat Islam terjerumus dalam perzinaan, semacam hal ini adalah merupakan dosa besar, sedangkan perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu telah sesuai dengan bunyi pasal 29 Undang-undeng Dasar 1945 yaitu :
1. Negara berdaarken atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memilih agamanya masing-mas ing den untuk beribarht tnenurut agamanya den kepercayaannya.
Oleh karena itu bunyi dalam pasal 2 ayat (1) berarti perkawinan sudah dianggap sah, maka dari itu untuk sahnya suatu perkawinan itu, haruslah menurut ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu.
Adapun dalam penjelasan bukunya K. Wantjik Saleh, yang berjudul Hukum Perkawinan Indonesia mengatakan:
“Perbuatan pencatatan itu tidaklah menentuken sahnya dalam suatu perkawinan, tapi mengatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif”
Sebagaimana hal ini telah sesuai dan sama apa yang dijelaskan dalam bukunya Drs. H. Saidus Syahar, S.H. bahwa sahnya perkawinan bukan dititik-beratkan pada adanya pendaftaran atau pencatatan perkawinan tersebut, tetapi hal sperti ini adalah meruptkan suatu perlengkapan administratif saja.
Jadi, dalam hal ini bagi golongan yang beragama Islan, bahwa perkawinan tetap dipandang sebagai suatu perbuatan keagamaan yang sebagaimana merupakan prosedur dan tata caranya harus dilaksanakan menurut hukum Islam.
Tetapi sah tidaknya perkawinan jika ditinjau dari sudut keperdataan yaitu sebagaimana perkawinan tersebut sudah dicatatkan atau didaftarkan pada kantor catatan sipil.
Adapun perkawinan tersebut belum terdaftar, maka perkawinan tersebut masih belum dianggap sah menurut ketentuan hukum, sedangkan kalau hal tersebut jika dihubungkan degan pasal 2 ayat (1) yang yang sudah tertera di atas maka ini merupakan perlengkapan administratif.
Memang jika hal ini kalau dipandang dalam hukum barat atau biasanya disebut BW ( Burgerlijk Wetboek ), perkawinan dalam hukum Islam tidak sah, karena perkawinan dalam BW atau istilahnya kawin di sini dianggap sah, apabila perkawinan tersebut dilangsungkan atau adanya suatu akta perkawinan yang telah dicatatkan pada kantor catatan sipil. Dan juga pada orang yang tunduk pada hukum berat, maka harus tunduk pula pada peraturan BW yang ada.

2. Hak Waris Terhadap Anak Kawin Sirih Menurut Hukum Islam
Kalau membahas masalah pewarisan hal ini sudah merupakan hak yang erat dalam kehidupan manusia, dan bahkan sampai-sampai menjadi budaya dalam proses pembagiannya.
Sebagaimana dengan adanya suatu kematian dari salah seorang kerabatnya sehingga timbul suatu pikiranpikiran dari salah satu pihak keluarga yang khususnya mempunyai hubungan darah, di sinilah terjadinya warisan tersebut. Akhirnya di antara salah satu ingin mempengaruhi satu sama lainnya, yaitu untuk mendapatksn harta tersebut yang ditinggalkan oleh si yang meninggal dunia, memang kalau bicara masalah warisan bukan nerupakan hal yang gampang dan mudah untuk diselesaikan, apalagi dalam warisan hukum Islam yang dikenal dengan adanya angka pecahan.
Di sini banyak suatu hal yang mengalami kesulitan, karena di dalam buku Islam terdapat adanya angka-angka seperti di atas, sehingga dalam pembagiannya agak mengalami suatu kerumitan.
Adapun mengenai anak yang dilahirkan dalam arti kawin sirih, saya beranggapan bahwa anak tersebut sama dengan anak yang dilahirkan dalam kawin yang sah, sebagaimana sebab dilahirkan pada suatu perkawinan yang sah. Jadi, kedudukan anak dalam hal ini berhak juga untuk mendapatkan dalam harta warisan orang tuanya, karena di sini dalam hukum Islam seseorang yang mempunyai hubungan darah dengan si pewaris, maka juga dia berhak utuk mendapatkan harta warisan yang ditinggaikan si pewaris, kalau dalam hal tersebut tidak menpunyai anak.
Dan kalau mangenai anak tersebut di dalam bukunya Saidus Syahar, tentang Undang-undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya ( ditinjau dari segi hukum Islam), menjelaskan
“Dengan perkataan lain anak yang dilahirken dalam perkawinan yang tidak terdaftar terlepas dari dibatalkan atau tidaknya perkawinan itu kemudian / anak itu adalah anak sah, maka sebagai anak yang sah dia mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan Undang-undang tentang Perkawinan, antara lain sebagai ahli waris yang sah”
Cuma saja dalam hal ini memang ada suatu ketentuan dalam mendapatkan bagian tersebut, maka bahwa anak laki-lakidan anak perempuan sama-sama berhak atas harta warisan orang tuanya dan kerabatnya antara lain orang tua dari ayah.
Tetapi hanya berbeda dalam mendapatkan bagian yaitu warisan anak laki-laki dan perempuan sebagaimana anak perempuan menerima dua pertiga bagian, sedangkan anak laki-laki menerima dua kali lipat bagian dari anak perempuan.
Sebgaimana dalam hal ini sama pada bukunya Wirjono Prodjodikoro, telah menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Hukum Warisan di Indonesia bahwa :
”Sekedar selaku tambahan lagi dari peraturan ini, ditetapkan dalam Qur’an, bahwa apabila ada anak-anak lelaki dan perempuan, maka anak laki-laki dan perempuan akan sama-sama mendapatkan harta warisan ayah, tetapi mengenai bagian dari setiap anak perempuan di mana dalam memperoleh harta warisan dari orang tuanya adalah hanya mendapatkan separoh dari bagian setiap anak laki-laki”
Begitu halnya dalam hukum Islam jika si pewaris hanya mempunyai anak perempuan saja, dan tidak ada keturunan seperti adanya anak laki-laki, maka di sini tidak menutup suatu kemungkinan kalau saudara-saudara sekandung dari si pewaris, maka mereka juga berhak mewarisi atas harta saudaranya yang meninggal, Di samping anak-anak perempuan memperoleh separoh, kecuali lebih dari seorang dia berhak dua-pertiga bagian. Sedangkan sisa dari harta warisan tersebut, jatah di tangan saudara sekandung dari si pewaris yang meninggal dunia. Dan sebagaimana di dalam Surat An-Nisa ayat 11 di dalam bukunya H. Ahmad Azgar Basyir, tentang hukum waris Islam yang berbunyi :
”Bahwa menentukan bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan; anak perempuan dua orang atau lebih (apabila tidak anak laki-laki) menerima dua-pertiga harta warisan dan apabila hanya seorang (tidak ada anak laki-laki) menerima setengah harta warisan dari orang tuanya”
Jadi, di dalam pembagian harta warisan terhadap anak-anak menurut hukum Islam adalah anak laki-lakilah yang lebih banyak bagiannya jika kalau dibandingkan dengan anak perempuan, karena anak laki-laki di sini merupakan kedudukan yang kuat dalam menerima warisan, sebab kuat dalam mencukupi kebutuhan rumah tangganya.

3. Kedudukan dan hak waris terhadap anak kawin sirih menurut undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974
Adapun sebelum mengungkapkan suatu permasalahan yang sebagaimana menyangkut tentang kedudukan hak waris anak dari kawin sirih, maka di sini perlu lebih dulu untuk menjelaskan perkwinan apakah perkawinan yang dilakukan hanya dengan rukun agamanya saja, jika menurut undang – udanga No. 1 Tahun 1974 sudah dianggap sah, maka dengan permasalahan yang timbul seperti ini, banyak beberapa pendapat para sarjana, bahwa perkawinan yang dilakukan tanpa didaftarkan ke kantor urusan agama tidak sah, tetapi di dalam permasalahan ini jika ditinjau dari pasal 2 ayat (1) yang berbunyi : perkawinan adalah sah apabila menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sudah dianggap perlu.
Jadi, kalau saya pandang bahwa di dalam pasal 2 ayat (2) nya hanya merupakan suatu pemberitahuan saja terhadap kantor pencatatan bahwa kalau ia sudah melakukan perkawinan, sehingga bukan sah tidaknya perkawinan, sehingga bukan sah tidaknya perkawinan terletak dengan adanya pencatatan tersebut. Jadi, dalam dugaan saya bahwa sah tidaknya perkawinan adalah pada saat melakukan ijab kabul terhadap wali dari mempelai wanita. Seperti halnya dalam hukum islam banyak orang yang melakukan perkawinan dengan cara keagamaan saja yaitu biasanya di daerah Madura yang terpencil, yakni dengan cara kawin sirih, sedangkan pengertian kawin sirih adalah suatu resepsi pernikahan yang telah dinikahkan oleh seorang ulama atau seorang kyai yang disertai dengan seorang wali dari hak perempuan dan juga disaksikan oleh dua orang saksi dari kedua belah pihak. Jadi, kalau dilihat dari isi pasal 2 ayat (1), bahwa perkawinan ini sudah memenuhi syarat yang sebagaimana sesuai dengan rukun agama.
Baru kemudian setelah diketahui dengan jelas tentang pengertian perkawinan diatas, maka pelru mengetahui tentang kedudukan dari anak tersebut, jika kita lihat kedudukan dari anak tersebut, jika kita lihat kedudukan anak yang sah sebagaimana dalam pasal 42 Undang – undang No. 1 tahun 1974 dikatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Berarti kalau kita kaji betul-betul isi dalam pasal 42 akan memberi gambaran tentang kedudukan anak terhadap kawin sirih. Jadi di dalam hal ini yaitu mengenai pasal 2 ayat (1) dengan pasal 42 Undang – undang perkawinan No. 1 tahun 1974 kalau dilihat, bahwa anak tersebut dapat dikatakan sah, karena anak tresebut dilahirkan engan perkawinan yang sah, kedudukan anak kalau menurut Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 mempunyai hak atas harta warisan orang tuanya, dimana anak tersebut adalah mempunyai hubungan darah langsung dengan orang tuanya.
Sebagaimana kalau kita lihat dalam bukunya R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin yang berjudul Hukum Orang dan Keluarga, disini telah menjelaskan dalam pasal 250 BW yaitu :
”bahwa anak sah adalah anak yang selama adanya perkawinan dilahirkan atau dijadikan (verwekkt). Bunyi lengkap pasa 250 BW ini adalah sebagaimana berikut : tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya”.

Tetapi lain lagi kalau tentang kedudukan anak yang sah bila hal ini dipandang dalam hukum barat atau BW yaitu untuk mengakui adanya anak yang sah adalah apabila didalam perkawinan kedua orang tuanya telah sah dengan dibuktikan, bahwa dengan melaksanakan perkawinan tersebut dilakukan dihadapan pejabat kantor pencatatan sipil, sehingga dalam membnuktikan anak tersebut dianggap sah, yaitu dengan akta kelahiran dari anak dan sebelumnya kedua orang tuanya harus mempunyai surat seperti adanya :
1. akta perkawinan di mana yang dilakukan oleh kedua orang tuanya sebagai tanda bukti, bahwa anak tersebut adalah anak mereka;
2. dengan adanya akta kelahiran dari anak yang dilahirkan oleh ibunya sebagai tanda bukti dia yang melahirkan anak tersebut dan juga untuk membuktikan bahwa kedudukan anak yang sah seperti diatas telah dijelaskan dalam pasal 162 ayat (2) BW :
”Dalam hal ini tidak adanya akta-akta yang demikian, maka jika anak-anak itu terus menerus meneikmati suatu kedudukan sebagai anak-anak yang sah, kedudukan ini adalah bukti yang cukup”.
Adapun dalam hukum Islam sebagaimana yang dikatakan anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam pembuahan dari perkawinan yang sah.

No comments:

Post a Comment