Thursday 7 April 2016

Kepemimpinan dalam Organisasi: Perilaku Kepemimpinan Efektif (Bag. 6)



Bab 5
Perilaku Kepemimpinan Efektif
[untuk bahasan bab 1, silakan baca ini:  LEADERSHIP IN ORGANIZATIONS: Definisi Kepemimpinan (Bag. 1)]


Kepemimpinan Partisipatif
Partisipasi dapat digunakan untuk mencapai beragam tujuan yang berbeda, termasuk: (1) meningkatkan kualitas keputusan, (2) penerimaan yang lebih besar pada keputusan, (3) pemahaman yang lebih baik mengenai keputusan oleh orang-orang yang harus melaksanakannya, (4) pengembangan skill pengambilan keputusan diantara para bawahan, (5) memperkaya pekerjaan bawahan dengan membuatnya lebih menarik, dan (6) fasilitasi resolusi konflik dan pembentukan tim. Para manajer menggunakan konsultasi lateral untuk memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan para manajer di subunit-subunit yang berbeda.

Beragam Partisipasi
Berbagai pakar teori kepemimpinan yang berbeda telah mengajukan taksonomi-taksonomi yang berbeda mengenai prosedur-prosedur keputusan, dan hingga sekarang, belumlah ada kesepakatan mengenai jumlah optimal dari prosedur keputusan atau cara terbaik untuk menjelaskannya (Heller & Yukl, 1969; Strauss, 1977; Tannenbaum & Schmidt, 1958; Vroom & Yetton, 1973). Prosedur-prosedur keputusan dapat disusun dalam sebuah rangkaian kesatuan yang berkisar mulai tidak ada pengaruh oleh orang lain sampai pengaruh tinggi. Jumlah minimal dari kategori-kategori yang bermakna dan berbeda untuk mengklasifikasikan prosedur-prosedur keputusan sepanjang rangkaian kesatuan dari pembagian power adalah sebagai berikut:
  1. Keputusan Autokratis / Autocratic Decision: Manajer mengambil sebuah keputusan sendiri tanpa meminta pendapat atau saran dari orang lain, dan orang lain tidak memiliki pengaruh langsung terhadap keputusan tersebut.
  2. Konsultasi: Manajer meminta pendapat dan ide orang lain, kemudian mengambil keputusan sendiri setelah mempertimbangkan dengan serius perhatian dan saran orang lain.
  3. Joint Decision /Keputusan Gabungan: Manajer bertemu dengan orang lain untuk membahas permasalahan keputusan dan mengambil keputusan bersama; manajer tidak memiliki pengaruh lebih tinggi terhadap keputusan akhir daripada partisipan lainnya.
  4. Delegasi: Manajer memberi seseorang atau kelompok otoritas dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan; manajer biasanya menentukan batasan-batasan dimana pilihan akhir harus dibuat, dan persetujuan lebih dulu dapat dibutuhkan atau tidak sebelum keputusan dapat diterapkan.

Efek dari Kepemimpinan Partisipatif
Banyak studi tentang partisipasi yang telah dilakukan sejak eksperimen lapangan awal yang dilakukan Lewin, Lippitt, dan White (1939) serta Coch dan French (1949). Penelitian ini mencakup eksperimen laboratorium, eksperimen lapangan, dan studi-studi lapangan korelasional menggunakan kuisioner untuk mengukur kepemimpinan partisipatif. Kebanyakan studi melibatkan partisipasi yang dilakukan oleh bawahan, dan kriteria keefektivan pemimpin biasanya adalah kinerja dan kepuasan bawahan. Hasil dari penelitian partisipasi ini dirangkum dalam beberapa ulasan literatur dan meta analisis baru-baru ini (Miller & Monge, 1986; Schweiger & Leana, 1986; Wagner & Gooding, 1987).

Penelitian Perilaku menggunakan Insiden Kritikal
Insiden-insiden kritikal secara khusus berguna dalam penelitian eksploratoris yang dirancang untuk mengamati aspek-aspek manajerial yang secara situasional relevan dan sangat spesifik. Contoh dari insiden-insiden kritikal dari studi supervisor produksi oleh Kay (1959, hal. 26) adalah sebagai berikut:
Sadar bahwa sebuah perubahan di dalam set-up telah dijadwalkan untuk hari esok, seorang mandor memeriksa mesin, mencatat bagian yang hilang, dan memesannya.  (insiden positif)
Seorang mandor gagal mengetahui mandor pengganti bahwa sebuah mesin memerlukan perbaikan sebelum dapat digunakan lagi. (insiden negatif).
Berikut ini adalah jenis-jenis perilaku pemimpin yang direpresentasikan dalam sebagian besar studi:
  1. Operasi-operasi perencanaan, koordinasi, dan organisasi.
  2. Mengawasi bawahan (mengarahkan, menginstruksikan, memantau kinerja).
  3. Menetapkan dan mempertahankan hubungan baik dengan bawahan.
  4. Menetapkan dan mempertahankan hubungan baik dengan atasan, rekan dan orang luar.
  5. Memiliki tanggung jawab untuk mengamati kebijakan-kebijakan organisasional, melaksanakan tugas-tugas yang dibutuhkan, dan mengambil keputusan yang dibutuhkan.

Teori-teori Universal tentang Perilaku Pemimpin Efektif
Teori-teori universal mengajukan bahwa gaya kepemimpinan yang sama adalah hal optimal dalam segala situasi. Misalnya, beberapa pakar teori telah menyatakan bahwa para pemimpin yang secara gigih menggunakan prosedur-prosedur keputusan partisipatif adalah lebih efektif (McGregor, 1960; Likert, 1967; Argyris, 1964). Teori universal yang paling menonjol menyatakan bahwa para pemimpin yang efektif adalah suportif dan berorientasi tugas, yang disebut dengan pemimpin ”high-high”. Versi-versi berbeda dari teori dua faktor ini pun telah diajukan. Di dalam literatur manajerial, Blake dan Mouton (1954) mengembangkan teori grid manajerial untuk menggambarkan manajer dalam pengertian perhatian pada orang dan perhatian pada produksi. Di Jepang, sebuah program penelitian perilaku yang sejajar dengan studi-studi kepemimpinan Ohio State mengarah pada pembentukan teori dua faktor yang disebut dengan teori kepemimpinan PM (Misumi & Peterson, 1985).

Evaluasi Teori Universal
Aspek universal dari teori mereka adalah orientasi nilai dari manajer yang memandu aksi / tindakan manajer, bukannya pola perilaku tetap yang diterapkan secara otomatis di dalam segala situasi. Manajer efektif memiliki perhatian tinggi terhadap tugas dan orang, tapi cara perhatian tersebut diterjemahkan dalam perilaku cukup beragam seiring dengan situasi dan dari seorang bawahan ke bawahan lainnya.
Mengacu pada sifat kerja manajerial (lihat Bab 4), sudah jelas bahwa esensi dari kerja semacam ini adalah serangkaian proses yang saling terkait (misalnya, mempengaruhi, menangani informasi, membangun jaringan, dan pengambilan keputusan) yang secara konstan melibatkan isu-isu tugas dan hubungan. Dua dimensi dari perilaku dapat berbeda secara konseptual, tapi dalam prakteknya, insiden perilaku apapun memiliki implikasi-implikasi untuk kedua dimensi tersebut.

Kategori Perilaku Manajerial dan Kepemimpinan
Katerogi perilaku adalah abstraksi daripada atribut nyata dari dunia nyata. Kategori perilaku didapatkan dari perilaku yang diamati guna mengatur persepsi-persepsi tentang dunia dan membuatnya menjadi bermanfaat, tapi kategori-kategori ini tidak ada di dalam pengertian objektif apapun. Tidak ada susunan absolut dari kategori perilaku yang ”benar”. Sehingga, taksonomi yang berbeda dalam tujuan dapat diharapkan memiliki susunan yang berbeda. Misalnya, taksonomi yang dirancang untuk memfasilitasi penelitian dan teori tentang keefektivan manajerial memiliki fokus yang berbeda daripada taksonomi yang dirancang untuk menggambarkan observasi tentang kegiatan manajerial, atau taksonomi yang dirancang untuk katalog tanggung jawab posisi dari para manajer dan administrator.

Yukl (1987) membandingkan taksonomi-taksonomi yang berbeda dan menemukan sejumlah besar persamaan diantaranya, meskipun ada perbedaan dalam tujuan dan pengembangannya. Ketika terjadi perbedaan, biasanya melibatkan sejumlah perilaku di dalam taksonomi dan tingkat abstraksi dari konsep-konsep perilaku. Beberapa taksonomi (misalnya, Bowers & Seashore, 1966; House & Mitchell, 1974) fokus pada beberapa perilaku, sedangkan taksonomi lainnya (yaitu Luthans dan Lockwood, 1984; Page, 1985; Yukl, 1987) jauh lebih komprehensif. Sejumlah besar kategori di dalam beberapa taksonomi disebabkan oleh spesifisitas dari kategori juga usaha untuk menjadi komprehensif. Mempertimbangkan perbedaan dalam cakupan/scope dan level abstraksi, terdapat kesamaan yang cukup besar diantara perilaku-perilaku dalam berbagai taksonomi untuk menunjukkan kemungkinan pengintegrasian taksonomi yang akan mengurangi kebingungan konseptual di dalam literatur dan memfasilitasi penelitian masa depan serta pengembangan teori.


Rangkuman
Selama tiga dekade, sejak awal 1950an, penelitian tentang perilaku pemimpin didominasi oleh fokus pada perilaku yang berorientasi-tugas dan berorientasi-hubungan. Banyaknya penelitian kepemimpinan selama periode ini menggunakan kuisioner yang mengukur pertimbangan dan memulai strukture. Studi-studi lainnya memanipulasi tugas dan perilaku hubungan di dalam eksperimen lab dan eksperimen lapangan. Hasil dari penelitian ini belumlah konsisten, kecuali untuk temuan yang menganggap para pemimpin biasanya lebih memuaskan para bawahan.
Kepemimpinan partisipatif adalah aspek ketiga yang paling banyak diteliti mengenai perilaku pemimpin setelah perilaku yang berorientasi-tugas dan berorientasi-hubungan. Sekali lagi hasilnya tidak konsisten. Hasil-hasil kepemimpinan partisipatif dalam kinerja dan kepuasan bawahan yang jauh lebih besar dalam beberapa situasi tapi tidak dalam situasi-situasi lain. Kurangnya hasil yang lebih kuat dan konsisten di dalam penelitian tentang pertimbangan, berorientasi-kerja, dan kepemimpinan partisipatif telah diatributkan pada pengukuran yang tidak tepat, permasalahan-permasalahan dalam menentukan kausalitas dalam studi-studi kuisioner, kelemahan desain dalam studi-studi eksperimental, dan tidak perhatian pada variabel-variabel moderator situasional.
Teori-teori universal yang melibatkan perilaku yang berorientasi-tugas dan berorientasi-hubungan menyatakan bahwa pola high-high adalah optimal di dalam semua situasi. Penelitian pada model interaktif ini tidaklah konklusif, tapi mempertimbangkan penelitian ekstensif di Jepang serta di Amerika Serikat, pola-pola hasil tampaknya menunjukkan bahwa para pemimpin efektif setidaknya memiliki level menengah dari kedua jenis perilaku. Sebagian besar dari studi-studi korelasional-kuisioner gagal memberikan tes yang tepat pada model interaktif, karena perilaku diukur hanya dalam pengertian frekuensi total dari tindakan yang hanya berorientasi hubungan dan tugas. Malahan, para peneliti harus mengamati tingkat dimana tindakan-tindakan spesifik dari seorang pemimpin mencerminkan perhatian untuk tugas dan hubungan. Sebuah jenis penelitian yang mana pendekatan ini mungkin adalah metode insiden kritis. Perbandingan dari insiden efektif dan tidak efektif cenderung mendukung model interaktif, tapi lebih banyak penelitian mengenai pertanyaan ini pun dibutuhkan sebelum kesimpulan pasti diambil.
Beberapa taksonomi berbeda telah diajukan untuk menggambarkan perilaku manajer dan pemimpin dalam istilah-istilah yang tidak begitu umum daripada perilaku hubungan dan tugas. Tiap taksonomi adalah berbeda, dan variasi antar taksonomi kemungkinan disebabkan oleh perbedaan dalam tujuan, cakupan, dan metode pengembangan. Taksonomi yang dikembangkan untuk meng-kode-kan pengamatan perilaku tidak dapat diharapkan untuk berhubungan secara tepat dengan taksonomi yang dikembangkan untuk menggambarkan kebutuhan posisi, atau dengan taksonomi dari perilaku kepemimpinan efektif. Meskipun begitu, terdapat cukup banyak persamaan untuk mengajukan kemungkinan pengintegrasian taksonomi.

Tuesday 5 April 2016

Kepemimpinan dalam Organisasi: Sumber Power dan Pengaruh (Bag. 5)



Proses-proses Politik untuk Mendapatkan Pengaruh
Tindakan / aksi politis adalah sebuah proses pervasif di dalam organisasi yang melibatkan usaha-usaha dari para anggota organisasi tersebut untuk meningkatkan power mereka atau untuk melindungi sumber power mereka yang sudah ada. Tindakan politis dapat dilakukan oleh sub-unit atau koalisi organisasional serta para manajer individual. Meskipun sumber utama dari power politis biasanya adalah otoritas, kontrol terhadap sumberdaya, atau kontrol terhadap informasi, power politis melibatkan proses-proses pengaruh yang merubah dan membesarkan basis awal dari power dengan cara-cara yang unik (Pfeffer, 1981). Sebuah proses politis yang disebut dengan institusionalisasi akan dibahas lebih lanjut di dalam bab ini. Bentuk-bentuk lain dari power politik termasuk mendapatkan kontrol terhadap proses-proses keputusan, membentuk koalisi, dan memilih kritikus dan lawan.

Kontrol terhadap Proses Keputusan
Banyak tindakan politis yang dirancang untuk mendapatkan pengaruh terhadap keputusan-keputusan penting, seperti alokasi sumberdaya langka atau pengembangan rencana dan kebijakan. Salah satu cara untuk sub-unit organisasional guna mempengaruhi keputusan-keputusan penting adalah dengan menempatkan perwakilannya ke dalam posisi-posisi penting dari otoritas di dalam organisasi, seperti misalnya posisi-posisi administratif puncak atau lembaga-lembaga keputusan yang membuat keputusan-keputusan kunci. Di dalam beberapa kasus, dimungkinkan untuk menciptakan posisi-posisi baru atau komite yang akan dikendalikan oleh koalisi atau sub-unit-nya.

Koalisi
Koalisi tidak terbatas pada pihak-pihak di dalam organisais. Kadangkala dibentuk dengan pihak luar. Cukup untuk untuk sebuah unit yang memperluas batasan, seperti misalnya departemen pemasaran atau pembelian/purchasing, untuk membentuk sebuah aliansi dengan klien atau suplier. Misalnya, departemen pembelian dari sebuah perusahaan meminta beberapa vendor-nya untuk melobi manajemen puncak guna mempertahankan prosedur pembelian/pemerolehan yang sudah ada dan mencegah departemen produksi mendapatkan otoritas terhadap keputusan pembelian/pemerolehan. Para vendor mendukung departemen pembelian karena mereka takut kehilangan permintaan jika kontrol bergeser kepada departemen produksi (Pfeffer, 1981).

Ko-optasi
Kooptasi adalah sebuah bentuk aksi politis yang tampaknya adalah variasi dari partisipasi. Tujuan dari kooptasi adalah untuk meruntuhkan oposisi yang ada terhadap kebijakan atau proyek yang dilakukan oleh sebuah kelompok atau faksi yang dukungannya dibutuhkan. Anggota kelompok yang berpengaruh pun diundang untuk bergabung dalam sebuah komite, dewan, atau dewan pengurus untuk mengambil keputusan-keputusan tentang kebijakan atau proyek. Perubahan yang diinginkan di dalam sikap mungkin terjadi sebagai hasil dari pemerolehan peranan baru dan berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan yang menyediakan sudut pandang baru dan pemahaman baru tentang permasalahan. Sikap-sikap baru pun diperkuat dengan pemberian penghargaan pada orang yang dipilih untuk mendukung secara publik kebijakan atau proyek yang tengah dipermasalahkan. Penghargaan ini dapat melibatkan peningkatan status, gaji yang lebih besar, atau tanggungan ongkos (Pfeffer, 1981).

Teori Pertukaran Sosial
Power  bukanlah sebuah kondisi statis, dan hal ini berubah seiring waktu. Teori pertukaran sosial berusaha untuk menjelaskan bagaimana power diperoleh dan hilang sebagai proses pengaruh timbal balik yang terjadi sepanjang waktu antar individual sebagai dasar untuk menjelaskan perilaku sosial yang kompleks di dalam kelompok. Bentuk yang paling mendasar dari interaksi sosial adalah sebuah pertukaran manfaat atau bantuan, yang mengarah pada daya tarik mutual ketika diulangi sepanjang waktu. Pertukaran sosial dapat mencakup tidak hanya manfaat material tapi juga manfaat psikologis seperti pernyataan persetujuan, rasa hormat, rasa percaya diri, dan perhatian. Individual belajar terlibat di dalam pertukaran sosial sejak awal masa kanak-kanak, dan mengembangkan harapan-harapan tentang ke-timbal-balikkan dan persamaan di dalam pertukaran-pertukaran tersebut.

Para Pemimpin yang Muncul di dalam Kelompok-Kelompok Kecil
Ketika seorang pemimpin yang baru muncul membuat proposal-proposal inovatif yang terbukti sukses, kepercayaan kelompok terhadap kepakaran orang tersebut pun dikonfirmasi, dan bahkan status dan pengaruh lebih dapat diselaraskan pada orang tersebut. Pada sisi lain, jika proposal yang diajukan oleh si pemimpin tersebut ternyata gagal, maka pengertian hubungan pertukaran mungkin sekali akan dinilai ulang oleh kelompok. Efek negatif nya jauh lebih besar ketika kegagalan tampak disebabkan oleh pertimbangan yang buruk atau ketidakmampuan daripada keadaan yang berada diluar kemampuan kendali si pemimpin.
Para Pemimpin Formal
Proses pertukaran dimana para pemimpin mendapatkan pengaruh dari demonstrasi yang berulang tentang kepakaran dan loyalitas kemungkinan sama untuk semua pemimpin formal di dalam organisasi besar seperti halnya untuk pemimpin baru di dalam kelompok kecil. Otoritas dan power posisi yang muncul bersama dengan posisi administratif membuat para pemimpin formal tidak begitu bergantung pada evaluasi bawahan terhadap kompetensinya, dan bahkan pemimpin yang tidak kompeten dapat tetap berurat akar di dalam sebuah posisi administratif untuk waktu yang lama, disebabkan oleh kontrak kerja yang menguntungkan atau jangka panjang kantor (jika tidak ada ketetapan recall/ pemanggilan-kembali).

Batasan-batasan Teori Pertukaran Sosial
Teori-teori pertukaran sosial lebih bersifat deskriptif daripada preskriptif. Teori-teori tersebut menjelaskan bagaimana hubungan terbentuk dan power diperoleh atau hilang, tapi teori-teori tersebut tidak menyediakan panduan spesifik bagi para pemimpin mengenai bagaimana mendapatkan power, atau bagaimana untuk menerapkannya secara efektif. Fokus dari teori pertukaran sosial adalah sebagian besar pada power pakar dan ortoritas, dan bentuk-bentuk lain dari power tidak menerima perhatian yang cukup.

Perubahan Organisasional dan Power
Teori Kontingensi / kesatuan Strategis
Hickson et al. (1971) mengajukan teori kontingensi strategis tentang power intraorganisasional. Teori tersebut menyatakan bahwa power tergantung pada tiga karakteristik dari sebuah sub-unit organisasional: (1) skill dalam menghadapi masalah penting, (2) sentralitas fungsi di dalam alur kerja, dan (3) tingkat dimana kepakaran adalah sesuatu yang unik atau dapat digantikan.



Power Politis dan Model Kontingensi Strategis
Pfaffer dan Salancik mengajukan bahwa power politik adalah penjelasan utama mengapa beberapa pihak tidak mampu mempertahankan power bahkan setelah kepakaran mereka tidak lagi menjadi hal yang kritis bagi organisasi. Pihak-pihak yang telah memperoleh power pun menggunakannya untuk melindungi dan meningkatkan powernya dalam sebuah proses yang disebut dengan ”institusionalisasi”. Ambiguitas mengenai sifat dari lingkungan dan bagaimana perubahannya menyediakan sebuah kesempatan bagi para eksekutif puncak untuk mengartikan peristiwa-peristiwa dalam cara yang bias, untuk membesarkan pentingnya kepakaran mereka, dan untuk membenarkan kebijakan mereka. Kontrol terhadap distribusi informasi mengenai seberapa bagus organisasi tersebut berkerja memungkinkan para eksekutif puncak untuk membesar-besarkan keberhasilan dari keputusan-keputusan yang telah diambil di masa lalu dan menutupi kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan. Power dari koalisi dominan dapat digunakan untuk menyangkal kesempatan dan sumberdaya lain yang dibutuhkan untuk menunjukkan kepakaran superior mereka, dan dalam kasus-kasus ekstrim, untuk mengeluarkan rival-rival politik dari organisasi. Proses institusionalisasi jauh lebih sukses ketika terdapat konsensus di dalam koalisi dominan tentang cara terbaik untuk berhadapan dengan lingkungan.