Wednesday 29 June 2011

Kritisisme historikal dan interpertasi tentang Shakespeare

Kritisisme historikal dan interpertasi tentang Shakespeare
Meskipun dia menyatakan bahwa kritisisme historikal kadangkala telah menghilangkan “interpertasi-interpertasi eccentric”, Robert Ornstein mengklaim bahwa ini juga kadangkala mendorongnya dengan mensubtitusi standar-standar yang benar-benar unilateral untuk standar-standa tradisional tentang perseptivitas kritikal”.
Yang paling penting diantara standar-standar “perseptivitas kritikal” ini adalah kriteria formal dari koherensi internal, pengertian bahwa puisi lengkap / utuh adalah konteks yang sebaiknya mengatur respon estetik kita pada setiap bagiannya. Pemahaman moral kita tentang drama, misalnya, adalah “sebuah pengalaman estetik yang bergantung pada kesan-kesan karakter, pemikiran dan tindakan yang diciptakan dengan segera,” dan kesan ini akan mengatasi / override bukti bertentangan apapun yang mungkin dikemukakan oleh scholarship / ilmu pengetahuan. Dalam pengertian formalis ini, Ornstein menawarkan sebuah interpretasi pada aksi-aksi Hamlet dalam adegan Closet yang secara mengejutkan berbeda dari pembacaannya Fredson Bowers. Respon moral kita pada adegan ini, menurut Ornstein, adalah sebuah “pengalaman estetika kompleks yang dipengaruhi oleh artifice/kecerdasan menyeluruh dari drama tersebut.” Jika pengalaman ini hendak berbeda dengan “keyakinan beragama, moral, dan politik umum di era Eizabethian,” maka adalah hal buruk untuk kepercayaan umum.
Terakhir, namun, Ornstein berpendapat bahwa oposisi yang jelas antara fakta keilmuan dan kesan estetika adalah sebuah oposisi yang salah, karena “kesan estetika yang didisiplinkan dan disaring adalah fakta dimana interpertasi terhadap Shakespeare harus benar-benar diletakkan; dikatakan bahwa, semua bukti keilmuan diluar teks drama tersebut dikaitkan padanya dengan gangguan-gangguan / interferensi yang dengan sendirinya harus didukung oleh kesan-kesan estetika.” Dengan kata lain, meskipun kita cenderung untuk beranggapan bahwa interpretasi-interpretasi kritikal kita, yaitu pada pembacaan tentang tujuan artistik yang “benar-benar disadari dalam drama dan dapat diraih hanya dari drama.”
Tidak diragukan lagi bahwa keilmuwan/ilmu-pengetahuan Shakespeare telah jauh melampaui kritisisme Romantik yang mencampuradukkan kesusastraan dan kehidupan. Namun mungkin bahwa generas-generasi yang akan dating pada gilirannya nanti akan tersenyum pada kenaifan dari beberapa studi Shakespeare kita, khususnya yang terkait dengan etika drama. Dalam decade-dekade belakangan definisi tentang sikap-sikap moralnya Shakespeare telah dipandang sebagai sebuah persoalan di dalam sejarah/riwayat ide-ide yang dapat dipecahkan dengan akumulasi bukti factual objektif. Yang terbaik pendekatan demikian terlalu meremehkan sebuah persoalan estetika kompleks; yang paling buruk hal ini mengabaikan realitas-realitas esensial dari seni dramatik. Profesor E. E. Stoll menyatakan beberapa tahun yang lalu bahwa kita tidak dapat dengan cerdas membahas karakter-karakter/tokoh-tokoh-nya Shakespeare kecuali kita memahami bagaimana kesan dari karakter tersebut diciptakan dalam drama puitis. Saya akan menyarankan, sebagai tambahan, bahwa kita tidak dapat secara tepat menginterpretasikan tujuan moral Shakespeare kecuali kita memahami bagaimana pertimbangan-pertimbangan moral diterjemahkan ke dalam kecerdasan dari drama puitis dan dipahami oleh seorang audiens.
Sudah terlalu sering diasumsikan bahwa interpertasi moral Shakespeare adalah wewenang dari peneliti secara keilmuwan, yang mengaitkan pemikiran dan tindakan dari sebuah drama pada keyakinan beragama, moral, dan politik umum di era Eizabethian. Tapi asumsi-asumsi yang sama tentang seorang dramais dan lingkup pergaulan kulturalnya yang mengarahkan para cendikia untuk mengartikan Shakespeare dengan sarana La Primaudaye, Charron, dan Coeffeteau hendaknya mengarahkan kita untuk menginterpretasikan A Streetcar Named Desire dengan referensi pada Norman Vincent Peale, seorang psikologis etikal letter-day sama berpengaruhnya dengan lawan-lawan Renaissance-nya. Untuk meyakinkan, Dr. Peale membahazs tentang tragei Blanche Du Bois: wanita itu tidak punya biji sesawi, tidak punya “Sikap Syukur”; dia mungkin akan selamat jika dia lebih menjadi seorang yang berpikiran positif. Kita tidak akan terkejut, lebih lanjut, menemukan kemiripan-kemiripan yang mengejutkan antara pandangan-pandangan Mitch tentang pernikahan dan keibuan dengan pandangan dari Dr. Peale. Namun kita harus bersikeras bahwa pandangan hidupnya Tennessee Williams bukanlah pandangannya Dr. Peale. Kita harus membedakan antara level-level pemikiran populer dan intelektual ketika membahas lingkup pergaulan kultural dari dramais manapun. Dan kita harus mengenali perbedaan antara intuisi moral yang dinyatakan dalam seni dan kata-kata hamba tradisional dari etika-etika yang disistemasi.
Penelitian keilmuan tersebut memperkaya pemahan kita tentang Shakespeare tidak dapat ditolak; bahwa hal ini memberikan pengungkapan unik mengenai makna dari drama-drama adalah dapat diperdebatkan. Sifat dasar dari dramaturgi Elizabethian—loncatan mendadak ke dalam aksi dramatis—menuntu bahwa pemahaman moral terhadap karakter/tokoh dapat langsung. Motivasi dapat menjadi kompleks, dibawah-tanah atau bahkan gaib. Kedalaman psikologikal dari sebuah karakter seperti Iago memanng dapat menjadi hal yang gelap; tapi akan kita mempenetrasi ke dalam kegelapan tersebut sesaat lagi. Dalam sifat-sifat moral merka para tokok dari tragedinya Shakespeare secara tak terhingga lebih transparan daripada sifat-moral para pria dan wanita yang hidup disekitar kita.
Seni yang menciptakan transparansi moral ini tidak dapat dianalisis dengan mudah, tapi ini adalah sebuah seni—sebuah penguasaan bahasa dan tuturan hidup, bukanlah penguasaan filosofi atau teologi. Kita memahami pandangan moral seorang filsuf secara intelektial, seorang dramais secara estetikal. Di dalam sebagian besar adegan-adegan cinta birahi dari drama-dramanya Fletcher, misalnya, tidak ada kebingungan rasional tentang nilai-nilai moral. Kita tidak menuduh Fletcher merusak kategori-kategori moral tapi gagal menerjemahkan moralitas retorikal ke dalam presentasi karakter/tokoh. Kita diberitahu bahwa perzinaan adalah jahat tapi tampaknya menarik; kita mendengarkan sentimen-sentimen moral bahkan meskipun dorongan erotik kita bangkit. Fletcher menggambarkan (secara negatif, tentu saja) kenyataan bahwa pemahaman moral tentang drama adalah sebuah pengalaman estetika yang tergantung pada kesan karakter, pikiran dan tindakan yang langsung diciptakan. Dengan kata lain, pertimbangan moral dalam seni harus diterjemahkan ke dalam pengetian kualitatif, afektif; Harus mengkomunikasikan sebuah kesadaran yang hampir panca-indera-is mengenai keindahan dari kebijakan dan keburukan dari susila. Kiasan-kiasan blibikal dan teologikal dapat memperdalam kesan “pancaindera-is” langsung ini dari tokoh yang bertindak, tapi tidak dapat menggantikannya jika dramanya tidak hidup diatas panggung.
Perbedaan antara Shakespeare dan Fletcher tidaklah antara seorang dramais objektif dan objeksional tapi antara seseorang yang menyerukan kepada dan menyaring intuisi-intuisi moral terdalam kita dan seserang yang meletakkan efek teatrikal diatas persepsi moral. Meskipun Shakespeare tidak menggunakan seninya untuk berpropaganda, walaupun dia tidak mempolakan pengalaman menurut rumus yang kaku, namun dia menekankan dengan segera pada sensibilitas audiens-nya sebuah kritisisme moral tertentu mengenai kehidupan. Dalam tragedi-tragedi besar hampir setiap kalimat diperhitungkan untuk memunculkan respon emosional spesifik – untuk membentuk sebuah pertimbangan moral tertentu. Tapi seni yang menonjolkan dan membentuk pertimbangan tersebut adalah sangat canggih sehingga menyembunyikan dirinya sendiri. Kita tampaknya mengetahui sifat moral dari Goneril atau Iago secara intuitif. Terlebih lagi pandangan moralnya Shakespeare adalah sangat manusiawi sehingga hal ini selalu serasi dengan kebenaran-kebenaran empiris dari pengalaman manusia’ melalui matanya kita melihat kehidupan dengan jelas dan menyeluruh.
Jika kita mengacu pada adengan Closet dalam Hamlet, kitadapat melihat tingkat dimana seni dramatis dan puitisnya Shakespeare membentuk respon-respon moral kita. Pertimbangkan buktinya secara objektif dan rasional: sebuah masa muda yang terlalu capek dan bergairah, dibelokkan pada balas-dendam, menyerang dalam kemarahan memabi-buta pada seseorang yang bersembunyi dibelakang arras. Dia berharap bahwa orang itu adalah sang Raja, tapi dia tidak memiliki jaminan bahwa itu adalah Raja, khususnya setelah dia meninggalkan Claudius berdoa di dalam adegan sebelumnya. Hamlet tidak berniat membunuh Polonius, pada pada saat itu dia tampaknya tidak begitu memperdulikan tentang siapa yang dia mungkin bunuh, dan dialog sebelumnya akan mengarahkan kita untuk menyakini bahwa tanpa intervensinya Polonius dia mungkin sudah membunuh ibunya sendiri. Ketika dia melihat kesalahannya dia tidak terlarut dalam penyesalan; malahan dia begurau dengan sinis tentang “kebijakan” Polonius, menceramahi ibunya atas kesalahan ibu, dan akhirnya sesuatu yang tanpa perasaan dan brutal mengangkat / membuang ketekunan / guts dari panggung. Mengapa saat itu kita tidak berpikir tentang Hamlet dan setelahnya sebagai seorang pembunuh yang, dikendalikan nafsunya, membasahi tangannya dengan darah orang yang tak bersalah (atau relatif bersalah)? Jawabannya adalah bahwa pembunuhan Polonius tidak mengganggu kita karena hal ini tidak mengganggu Hamlet; hal ini tidak ada didekat nurani kita karena tidak dekat dengan nuraninya.
Disini tampak sebuah paradoks yang menerangi perbedaan antara kesusasteraan dan kehidupan. Di dunianya nyata penyelasan penjahat memperlunak pengutukan si penonton sedangkan tanpa perasaan dan keacuhan pada tindakan penjahat / kriminal terlihat seperti tanda-tanda menakutkan dari unregeneracy/non-regenerasi. Tapi di dalam drama sebuah nurani bersalah dapat memiliki efek yang hampir berlawanan pada si penonton karena pengutukan nurani: ini adalah teriakan moral yang diinternalisasikan yang melaluinya seorang dramais dan audiensny6a mengkontemplasikan nilai penting dari sebuah tindakan kriminal. Adalah tepat bagi Shakespeare bahwa para Elizabethian meyakini bahwa sebagian besar kriminal mengalami rasa penyesalan, tapi keyakinan konvensional tidak menjelaskan fungsi artistik dari nurani dalam tragedinya Shakespeare. Misalnya, pengkhianatan keji yang mana Richard III membunuh saudara lelakinya hendaknya memunculkan revulsi moral yang lebih dalam daripada keputusan merana dan tersiksanya Macbeth untuk membunuhDuncan. Namun, hal sebaliknya yang benar. Kebencian dimana Macbeth mengkontemplaskan kejahatannya membakar rasa bersalahnya ke dalam kesadarannya, sedangkan kurangnya nurani bersemangat tinggi-nya Richard sementara menunda pertimbangan moral dan mengijinkan liburan moral dimana kita dapat sementara menikmati pengecohannya pada mereka yang akan memainkan permainan mematikan dan amoral yang serupa. Ketika sebuah pola retribusi / penebusan mulai berlaku dengan sendirinya pada keberhasilannya Richard, maka tanda-tanda nurani yang menggerogoti dalam diri Richard dan para anteknya menghambur-hamburkan mood / gairah dari sandiwara melodramatik dan terlibat dalam respon moral yang lebih dalam pada kejahatannya Richard.
Untuk kembali pada adegan Closet, saya akan menyarankan apakah Hamlet lebih sensitif mengenai kematian Polonius daripada apa yang kita pikir yang paling buruk padanya. Tuduhan dari nuraninya akan mencitrakan sebagai seorang pembunuh di mata kita. Tapi sebagaimana adegannya, bukannya mengkonemplasikan kesalahannya karena membunuh Polonius, Hamlet memindahkan perhatian ibunya (dan perhatian kita) dari tindakannya menuju pada kesalahannya Gertrude karena menikahi Claudius. Karena nilai penting moral dari tindakan Hamlet tidaklah dikontemplasikan, kita tidak merasakan adanya kongruitas / kesamaan yang aneh ketika dia menceramahi Gertrude mengenai etika sementara tubuh Polonius terbaring di kakinya. Kita juga tidak tersenyum secara sarkastik ketika ada di tengah-tengah desakan moralnya Hamlet memohon ampunan untuk kebijakannya.
Saya tidak berarti bahwa dalam adegan krusial ini Shakespeare mempermkainkan respon-respon moral kita atau bahwa dia mempertahankan simpati kita bersama Hamlet dengan menghindari pengutukan mengenai apa yang dikutuk. Maksud saya adalah bahwa respon moral kita pada adegan ini adalah pengalaman estetika kompleks yang dipengaruhi oleh kecerdasan total dari drama tersebut. Apa yang tidak ada di dekat nurani Hamlet juga tidak ada didekat nurani kita sendiri karena dia adalah penerjemah moral kita. Dia adalah suara sensibilitas etika dalam sebuah lingkup pergaulan yang canggih secara kebangsawanan; kepedihannya dikesampingkan, yang mempenetrasi permukaan dari ciri dan kebijakan Claudius, memulai, bisa dikatakan begitu, tindakan moral dari drama tersebut. Dan sepanjang drama identifikasi kita bersama dengan pandangan moral Hamlet adalah apa yang kita benci adalah yang dia benci, mengagmi apa yang dia kagumi. Selama berabad-abad dari kritisisme Shakespeare mengungapkan, ktia menuduh Hamlet hanya dengan apa yang dia tuduhkan pada dirinya sendirfi: sebut saa, kelambanannya dalam melakukan balas dendam. Dan kita menerima moralitas dari balas dendam berdarah secara instan dan tanpa mempertanyakan karena Hamlet sang idealis melakukannya demikian. Memang, memperhatikan apa yang kita pelajari tentang sikap-sikap Renaissance terhadap balasdendam dapat merubah penerimaan tersebut.
Kesan moral kita mengenai karakter Hamlet diambil terutama dari apayang dia katakan bukannya apa yang dia lakukan. Hal ini hampir merupakan sebuah kesadaran intuitif mengenai keindahan, kedalaman dan kemurnian dari sifat moralnya, yang padanya dipecayakan beban keji tentang balasdendam dan disilusi. Jika karakter-karakter Shakespeare adalah ilusi-ilusi yang diciptakan oleh kecerdasan dramatis, maka apa yang kita cintai dalam Hamlet adalah sebuah ilusi di dalam ilusi: yaitu saran dari diri Hamlet yang dulu, Hamlet yang diingat oleh Ophelia dan yang secara tajam muncul kembali dalam percakapan dengan Horatio, tepat sebelum bencana. Melalui artistik sempurnanya Shakespeare menciptakan dalam diri kita sebuah simpati pada Hamlet yang hampir menjadi sebuah keyakinan—sebuah kepercayaan diri di dalam inti yang tersentuh dan yang tidak tersentuh dari sifat spiritualnya. Keyakinan ini, diperbarui oleh sejumlah besar ceramah sepanjang drama, memungkinkan kita untuk menerima brutalitasnya Hamlet terhadap Ophelia, reaksinya terhadap kematian Polonius, penolakan kejinya untuk membunuh Claudius saat berdoa, dan kesukaan Mahaivelliannya dalam membuang Rosencrantz dan Guildenstern. Tanpa ada ingatan tentang solilokui besar yang mendahuluinya, kesan kita tentang adegan Closet akan menjadi sangat beragam. Dan, kenyataannya, untuk berusaha untuk menjelaskan karakter Hamlet dengan mempertimbangkan motif dan tindakannya terhadap sistem apapun dari pemikiran Renaissance adalah untuk menampilkan Hamlet secara moral tanpa Pangeran Denmark misalnya, tanpa rasa kesan tentang sifat moral Hamlet yang diciptakan oleh nuansa puitis.
Yang sama pentingnya dalam membentuk reaksi kita pada adegan Closet adalah respon kita pada Polonius. Sejauh ini sebagai sebuah pertimbangan moral rasional mengenai “kejahatan” Hamlet dperhatikan, tidaklah penting siapa yang ada disamping Claudius yang ada dibalik arras. Namun reaksi audiens akan sangat berbeda jika, anggap saja, Ophelia adalah  sang penguping. Mempercayai yang terburuk padanya, Hamlet dapat tanpa berperasaan menghabisi nyawanya, tapi dari momen tersebut audiens akan memisahkan rombongan moral bersamanya. Polonius adalah, tentu saja, jauh lebih dapat dibuang. Sementara kita kita mungkin tidak berbagi rasa jijiknya Hamlet, kita tidak dapat lolos dari perasaan hahwa si pria tua tolol, kekanakan dan pengintai menerima apa yang patut diterima oleh seorang mata-mata dan penipu; dia menemukan hal ini berbahaya untuk menjadi terlalu sibuk.
Bahkan para kritikus moral mendapatkan beberapa kepuasan dalam melihat Polonius naik dengan kebinasaannya sendiri; dan namun tidak ada yang dilakukan oleh Konselor kuno untuk mengingatkan tentang kematian – memang, jika menguping adalah kejahatan besar, Tuhan ampuni orang jahat! Meskipun dia mematai-matai, mengintip dan melaksanakan rencananya Claudius, adalah tanpa tujuan jahat; benar-benar tidak ada saran bahwa dia bertindak kecuali untuk kebaikan umum (dan pribadinya) dalam menemukan penyebab dari melankolinya Hamlet. Dia sama acuhnya pada kejahatan-kejahatan Claudius sama dengan penonton yang terpukau oleh pembantaian akhir. “Kepuasan” kita pada kematian Polonius, maka, harus berada diluar realitas dari filosofi moral; dan benar-benar mengatakan bahwa hal tersebut bukanlah moral sama sekali. Atas kewajiban legal masyarakat yang baik harus memberitahukan tentang tindak-pidana ringan para tetangganya, tapi yang tidak membenci sang informan apakah dia ada diluar atau di dalam hukum? Pada masyarakat bahkan pada hukum, tipudayanya adalah menjijikkan, betapapun moral perhatiannya. Sebuah moralitas “bangsa” yang berurat-akar (terbentuk, saya bayangkan, selama berabad-abad dari penindasan polisi) menghargai keterbukaan, terusterang, dan tak bertele-tele; kita menyadari bahwa tidak ada orang yang aman dan hidup yang aman dalam sebuah suasana kecurigaan dan ketidakpercayaan.
Maka audiens merasa cukup benar bahwa Polonius tidak berada dibelakang arras. Tapi kita harus mengutip selusin pejabat politis dan moral Renaissance yang besikeras bahwa Perdana Menteri, digberi kepersayaan dengan keamanan dan keberadaan dari sebuah bangsa, memiliki hak (bukannya tugas) untuk melampai hukum, untuk mencurigai dan mengunakan sarana-sarana kecurigaan guna mencapai hasil akhir yang bagus. Pertimbangkan kontoversi panjang terhadap Duke dalam Measure for Measure. Banyak sekali esai mengenai drama ini mengungkapkan bahwa beberapa dari para kritikus terkemuka melihat Duke sebagai seorang snooper / pengintip, seorang meddler / suka-campurtangan dalam kehidupan orang lain, seorang pejabat dengan tujuan jelas yang terpaksa masuk dalam tipudaya yang menjijikkan untuk mencapai sebuah tujuan moral. Para cendikia menyatakan bahwa kesan ini adalah salah dan tidak historis; mereka mengutip perjanjian religius, moral dan politis Renaissance untuk menunjukkan bahwa Duke memiliki justifikasi yang tepat untuk perbuatan-perbuatannya dan bahwa audiens Renaissance akan terganggu dengan apa yang tampaknya keji atau kotor bagi pembaca modern. Mungkin demikian, tapi mari kita konsisten dengan kritisisme / kritik kita. Jika pertimbangan moral kita mengenai Duke hendak didasarkan, tidak pada kesan langsung dari karakternya tapi pada pertimbangan dari pendapat umum Renaissance, maka hal yang sama hendaknya benar mengenai pertimbangan kita tentang Polonius. Atau, sebaliknya, jika kumpulan pendapat-pendapat Renaissance yang dipilih secara hati-hati tidap dapat menghilangkan rasa jijik kita pada kebijakan Polonius, maka hal ini tidak dapat menghilangkan respon serupa pada kebijakan Duke.
Saya tidak bermaksud mengidentifikasi Polonius dan Duke. Respon kita pada Vincentio adalah jauh lebih kompleks karena dia memainkan peran yang jauh lebih signifikan dan banyak sisi. Dan jika hal tersebut benar, sebagaimana pendapat para kritikus, bahwa tindakan dari Measure for Measure berlangsung pada sebuah level alegorikal serta pada level realistik, maka pemahaman kita tentang peran dramatis Duke harus berbeda dari peran dramatisnya Polonius. Tapi kita tidak dapat lolos dari kesan langsung tentang karakter Duke dengan menjelaskan perannya secara analogis. Visi simbolis dimana alegori terdapat di dalam seni tidak dapat mendikte respon kita pada realitas-relaitas langsung dari kehidupan atau pada citra kehidupan yang ditampilkan dipanggung; hal ini hanya dapat terbentuk pada respon tersebut, menyoroti kualitas bersama dari “benda / hal” dan ide—hubungan-hubungan analogikal antara karakter dan konsep—yang memungkinkan pikiran untuk bergerak bebas antara level realistik dan simbolis dari tindakan. Ketika pikiran dari audiens tidap dapat bergerak bebas dalam cara ini karena hubungan analogikal adalah direncanakan secara tak jelas, banyak akal, atau secara kasuistik, maka alegorinya adalah dekaden. Ketika gambaran/visi simbolis berusaha untuk mengidentifikasi hal jahat dan Divine / keilahian, maka alegorinya adalah tidak bermoral/imoral.
Pertimbangkan paralel instruktif lainnya, kali ini antara Hamlet dan Othello. Kita diberitahu bahwa Othello adalah dikutuk untuk mengalami siksaan seumur hidup karena dia membunuh orang yang tidak berdosa dan tidak, menurut teologi yang kaku, bertobat. Jika demikian, apa yang dapat kita katakan tentang Hamlet? Dia tidak mencekik Ophelia, tapi dia membuatnya syok dan tersiksa, membuatnya terhina didepan Pengadilan / Court, menyarankan bahwa dia memang dan memperlakukannya sebagai seorang pelacur, membunuh ayahnya dan membuatnya gila. Kejahatan Othello terhadap Desdemona setidaknya telah memperingan keadaan dari kebecian jahatnya Iago. Brutalitasnya Hamlet terhadap oduk dari imajinasi hipersensitifnya sendiri dan nausea / kemuakan seksualnya yang disebabkan oleh syok karena ketidaksetiaan ibunya. Pada pemakaman ibunya dia berteriak secara melodramatis bahwa dia mencintai ibunya tapi tidak mengajukan permintaan maaf atas perlakuannya pada sang ibu dan tidak mengaku bersalah. Bagaimana seharusnya Othello dikutuk dan kerumunan para malaikat mengantarkan Hamlet menuju ke peristirahatannya?
Tidak perlu dikatakan, kita merasa bahwa akhir dari Hamlet dan Othello adalah tak terhindarkan dan “benar”. Hal ini memang begitu, bukan karena kita dapat secara keilmuan mendokumentasikan “bukti” bgahwa Hamlet selalu terinspirasi oleh motif-motif moral atau religius dan bahwa Othello berada diluar penyesalan / tobat, tapi karena Shakespeare menekankan inti tak tercela dari kebaikan Hamlet (sensibilitas moral yang jelas secara sementara terkalahkan) sedangkan dia menekankan degradasi dari semangan noble / kemuliaan Othello. Dia membentuk pertimbangan-pertimbangan yang berbeda dari karakter dengan menciptakan perspektif-perspektif artistik yang berbeda. Seperti halnya Polonius, Ophelia adalah seorang tokoh minor; “kejahatan” Hamlet terhadapnya ditempatkan dalam proporsi dan dibayang-bayang oleh tindakan moral yang lebih besar dari drama tersebut. Desdemona adalah seorang pahlawan wanita; kejahatan Othello terhadap wanita ini (Desdemona) adalah tindakan moral dari drama tersebut.
Untuk mengatakannya secara berbeda, dalam hamlet dan Othello sebagaimana dalam Lear Shakespeare menyajikan para pahlawan / heroes yang dianiaya dan juga berdosa, yang dapat dikasihani sebagai korban dalam ituasi-situasi dramatis yang meskipun tidak ambigu mengakui secara diametris penekanan-penekanan moral yang bertentangan. Dalam Othello dia menekankan pada brutalitas dari impulsif desruktif. Ketika kita melihat Desdemona yang tidak curiga apa-apa bersiap untuk tidur, hati kita mengeras pada simpati untuk Othello yang “teraniaya”. Setelah pengetahuan tentang puritas Desdemona, kesucian dan cintanya, pengampunan apa yang pantas untuk Othello? Tapi tanpa merubah karakterisasi-karakterisasinya atau insiden-insiden fabelnya, Shakespeare mungkin dapat menciptakan pertimbangan yang sangat berbeda mengenai budi / perbuatan Othello. Apakah adegan yang disebutkan diatas dihilangkan, apakah fokus dalam adegan-adegan terakhir bergeser pada dosanya Iago (pada kejahatan terhadap kesucian Othello) kita dapat menerima kesan akhir yang sangat berbeda yang tak terhindarkan dan “benar”; kita dapat melihat Othello yang teraniaya sebagai seseorang yang patut mendapat lebih banyak belas kasihan daripada dipersalahkan. Sebuah komentar teologikal mengenai pidato terakhirnya Othello tidak dapat memberitahu kita bagaimana caranya mempertimbangkan Othello juga kita tidak dapat menemukan dengan cara ini penekanan moral tertentu yang diciptakan Shakespeare melalui desain total dari dramanya. Lebih lanjut orang meragukan bahwa misteri dari “ketidakbersalahan” Hamlet dapat dipecahkan baik oleh filosofi moral ataupun teologi Renaissance. Kode-kode yang mengatur masyarakat tidak dapat dengan mudah mengakui apa yang diketahui oleh audiens selama penampilan / pertunjukan Hamlet: sebut saja, bahwa jiwa / semangat seseorang dapat menjadi superior tidak hanya pada keyakinannya tapi bahkan pada tindakannya sendiri.
Maka sementara keilmuan dapat membuat interpretasi tentang Shakespeare secara lebih ilmiah, namun tidak dapat membuat interpretasi menjadi ilmu berdasarkan pada informasi faktual. Dikotomi dari fakta keilmuan dan kesan estetika pada akhirnya menyesatkan karena kesan estetika yang disaring dan didisiplinkan/dijadikan disiplin-ilmu adalah fakta yang mana interpretasi tentang Shakespeare pada akhirnya diberikan; yaitu, semua bukti keilmuan diluar teks dari sebuah drama terkait pada simpulannya yang harus didukung oleh kesan-kesan estetik. Usaha dari kritisisme historikal untuk menangkap ulang (sejauh dimungkinkan) tujuan artistiknya Shakespeare adalah, atau sebaiknya, tujuan dari semua kritisisme yang bertanggungjawab. Tapi kita harus menekankan bahwa tujuan tersebut benar-benar disadari dalam drama dan dapat dipahami hanya dari drama. Sebuah studi mengenai ide / pikiran Renaissance dapat memandu kita Pada apa yang menjadi pusat dalam dramanya Shakespeare; hal ini dapat memberitahu kita mengapa pandangan hidup Shakespeare adalah seperti itu. Tapi kita dapat memahami visinya hanya sebagai pengalaman estetis. Ketika sejarah panjang tentang studi-studi Shakespeare mengindikasikan bahwa karakeristik tertentu adalah ambigu, informasi keilmuan tidak dapat menghapuskan ambiguitas tersebut, karena hal ini muncul dari konsepsi-konsepsi pelepasan, ironis atau ambivalen dari karakter atau dari kegagalan untuk menerjemahkan pertimbangan univokal ke dalam kecerdasan efektif. Untuk mengumumkan bahwa pidato Ilysses pada urutan dan pangkat adalah pernyataan yang besar dari hal-hal lumrah Elizabethian adalah sekedar untuk memberi aksen pada ironi dari konteks dramatisnya dan untuk menjelaskan secara lebih tajam permasalahan dimana kecakapan kritikal saja tidak mencukupi untuk menyelesaikannya.
Akan selalu ada keragaman dalam interpretasi tentang Shakespeare. Dan akan selalu ada interpretasi-interpretasi eccentric/eksentrik, tapi tidak akan tahan lama menghadapi serangan akal sehat, pemeriksaan sensitif dan cemat terhadap teks, dan insistensi bahwa seninya Shakespeare adalah dramatis dalam tujuan—diciptakan untuk penampilan teatrikal. Kritisisme historikal telah, tentu saja, menghilangkan interpretasi-interpretasi eksentrik, tapi hal ini juga, dalam beberapa aspek, membantunya dengan menggantikan standar-standar unilateral menyeluruh untuk standar-standar tradisional dari perseptivitas kritikal. Sekarang ini kita perlu mendefinisikan ulang kriteria legitimasi dari pertimbangan kritikal dan hubungan yang tepat antara keilmuan dan kritisisme dalam studi-studi Shakespeare. Hanya melalui kerjasama keilmuan dan kritisisme kita akan mendapatkan pemahaman terhadap seninya Shakespeare yang mengesampingkan dogmatisme dari orang terpelajar dan orang yang tak mendapat informasi.
Catatan
  1. Saya tidak setuju bahwa perpisahan yang eloknya Horatio pada Pangerannya membuktikan keadaan yang menyenangkan dari jiwa abadinya Hamlet. Sebaliknnya, kecuali seorang tokoh / karakter benar-benar mata-mata Tuhan akan langka sekali memiliki pengetahuan autoritatif mengenai Divine Judgement / Penghakiman Ilahiah. Kita tidak dapat mendogmatisasi tentang fungsi dari perumpamaan yang diambil dari keyakinan-keyakinan religius populer dalam drama-dramanya Shakespeare, tapi kita dapat menuntut konsistensi dalam metode-metode kritikal. Jika tamsil tentang neraka dalam pidato-pidato terakhirnya Othello mengindikasikan pengutukan, maka referensi-referensi apokaliptik pada bagian akhir dari Lear (“Apakah ini akhir yang dijanjikan? / Atau bayangan dari Horor?” [saya tulis miring]) harus mengindikasikan sebuah kegagalan keyakinan dalam Providential Order, sebuah rasa disolusi dan disilusi kosmis.
  2. bagaimana sebaiknya kita menentukan pandangan-pandangan melankoli Elizabethian mana yang relevan pada gambaran Shakespeare tentang Hamlet? Jelas sekali tidak setiap pendapat Elizabethian adalah ganjil dan bertentangan adalah bagian dari latar belakang drama. Jika kita tidak ingin menekankan paralel-paralel koinsidental atau membuat asumsi-asumsi yang salah tentang keyakinan-keyakinan Shakespeare, pemilihan bukti keilmuan haruslah sebuah tindakan tentang pertimbangan kritis. Seorang cendikia harus memulai dengan sebuah konsepsi tentang karakter Hamlet jika dia ingin menemukan pemikiran kontemporer yang mendasari gambaran dramatisnya Shakespeare. Sehingga sementara dokumentasi keilmuan memvalidasi sebuah kesan kritikal, dokumentasi tersebut akan pantas dan mencerahkan hanya jika didasarkan pada pembacaan sensitif dan perseptif terhadap teks.
Lebih lanjut, kita harus mengasumsikan bahwa Shakespeare tidak mampu mengenai pemahaman-pemamahan orisinil ke dalam sifat manusia, kita tidak dapat mengatakan bahwa interpretasi karakter adalah salah karena kita tidak dapat menemukan sanksi untuknya dalam perjanjian-perjanjian Elizabethian pada psikologi atau filosofi moral. Ide romantik bahwa Hamlet kehilangan kehendak / keinginannya untuk bertindak dalam pemikiran dapat menjadi keliru (saya kira hal ini salah), tapi bukanlah kesalahan hanya karena para bangsawan Elizabethian adalah (atau dianggap sebagai) para pria penuh tindakan serta pemikiran. Amintor dan Philaster-nyaBeaumontdan Fletcher adalah bukti bahwa konsepsi Romantik tentang Hamlet adalah masuk akal bagi pikiran artistik Elizabethian, jika bukan terhadap penyusun dari buku-buku kesopan-satunan.
1.3 Atropologi linguistik dan disiplin-disiplin ilmu lainnya dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora
Pada duapuluh tahun terakhir, bidan antropologi linguistik telah tunbuh pesat untuk mencakup atau ditarik dari sejumlah besar bidang lainnya termasuk foklore dan studi-studi performance / pertunjukan (Bauman 1975; 1977; 1986; Bauman dan Briggs 1990; 1992; Briggs 1988; Hymes 1981), kesusasteraan dan pendidikan (Cook-Gumperz 1986; Heath 1983; Schieffelin dan Gilmore 1986; Scollon dan Scollon 1981; Scribner dan Cole 1981), sosiologi kognitif (Cicourel 1973), sosiologi interaksional (Goffman 1961, 1963, 1972, 1974, 1981), kognisi sosial (Hutchins 1995; Lave 1988; Lave dan Wenger 1991; Rogoff 1990; Rogoff dan Lave 1984), dan pemerolehan bahasa anak (Ochs dan Schieffelin 1984; 1995; Schieffelin dan Ohcs 1986). Beberapa antropolog linguistik juga telah terpengruh oleh sebuah kelompok aktif dari para psikolog yang berfpandangan secara kultural
(Michael Cole dan James Wertsch khususnya) yang membawa ke dalam keilmuwan Amerika karya dari sekolah psikologi sosiohistorikal Soviet yang dikepalai oleh Lev Vygotsky dan para rekannya serta membantu membangkitkan kembali minat dari para imluwan sosial dan kognitif dalam kontribusi-kontribusi dari para cendikia Rusia, khususnya, dalam penulisan dari kritikus kesusasteraan Mikhail dan Bakhtin serta sekitarnya (Bakhtin 1968, 1973, 1981a; Clark dan Holquist 1984; Cole dan Griffin 1986; Volosinov 1973; Wertsch 1985a; 1985b; 1991). Sebagaimana yang akan kita lihat dalam bab-bab selanjutnya, sejumlah konsep yang diperkenalkan oleh para cendikia ini seperti misalnya aktivita, tuturan yang dilaporkan, suara dan heteroglossia, memiliki peranan penting di dalam model-model kontemporer tentang pemakaian bahasa.
Etnometodologi, sebagai studi tentang metode-metode yang digunakan oleh para aktor sosial dalam menginterpretasikan kehidupan sehari-hari mereka (Garfinkel 1972), juga menawarkan beberapa ide penting dan inovatif bagi para peneliti yang tertarik dalam menerapkan metode-metode etnografik tradisional untuk mempelajari penuturan setiap hari. Dari pendekatan yang terinspirasi secara fenometodologikal, para antropolog linguistik dapat belajar atay melihat beberapa intuisi-intuisi berulang yang dikonfirmasi mengenai konstitusi kultural dan masyarakat dalam pertemuan-pertemuan komunikatif. Pertama, mereka dapat denghan mudah mengaitkan pada prinsip etnometodologikal bahwa struktur sosial bukanlah variabel independen, yang ada diluar praktek-praktek sosial baik dalam bentuk kategori-kategori sosial seperti “Status” dan “peran” (Cicourel 1972) atau dalam asumsi-asumsi tentang apa yang membentuk gender seseorang (Garfinkel 1967). Struktur sosial adalah sebuah produk yang muncul dari interaksi-interaksi, dimana para aktor sosial menghasilkan budaya dengan menerapkan metode-metode naif (biasanya implisit) tentang pemahaman dan mengkomunikasikan diri mereka dan apa yang mereka pedulikan. Dengan kata lain, para anggota masyarakat bekerja untuk menunjukkan aksi/tindakan mereka (termasuk kata-kata) menjadi akuntabel, yaitu rasional dan bermakna untuk semua tujuan praktikal.
Kedua, jika pengetahuan adalah implisit, maka kita tidak dapat langsung menemui dan bertanya pada orang tentang apa yang mereka pikirkan (seringkali hanya memberi kita data lebih banyak untuk dianalisis – dan jika kita tetap menggunkan wawancara-wawancara kita akan menghasilkan kemunduran tak terhingga). Malahan, kita harus melihat pada bagaimana para partisipan melakukan interaksi harian mereka dan memecahlkan persoalan setiap hari seperti berkumpul dengan orang lain, menjalin pertemanan atau mempertahankannya, meminta arah, membherikan perintah, mengisi formulir, mencari pekerjaan, membayar tiket tol. Dalam terlibat pada aktivitas-aktivitas harian ini, para anggota terlebih dulu harus seringkali memberikan pemahamannya sendiri pada orang lain tentang apa yang terjadi. Dengan demikian sebagian besar pemantauan mutual mengenai apa yang terjadi dalam interaksi apapun pun dilakukan melalui tuturan – serta melalui sumberdaya-sumberdaya semiotika lainnya (misalnya gestur / bhasa tubnuh dan postur, artifak dan dokumen dari berbagai jenis), pemakaian bahaswa telah menjadi area studi yang penting bagi para sosiolog yang berorientasi secara enometodologi. Diantaranya, para analis percakapan telah memperkenalkan ide-ide dan metode-metode yang telah berpengaruh pada banyak antropolog linguistik yang tertarik dalam organisasi sekuensial dari tuturan setiap hari (lihat bab 8).
Paraantropolog linguistik juga telah diuntungkan dari karya para pakar teori sosial yang memberikan perhatian khusus pada konstitusi dari masyarakat dan budaya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini secara khusus benar dalam teori prakteknya Bourdieu (1977, 1990), teori strukturasinya Anthony Giddens (1979, 1984), dan studi historikalnya Michael Foucault tentang teknologi-teknologi pengetahuan sebagai teknologi-teknologi power / kekuasaan (misalnya 1973, 1979, 1980a, 1988).
Bourdieu secara khuss telah berkganruh dalam kritik budaya sebagai sebuah sistem rasional yang dibentuk oleh keyakinan atau aturan-aturan yang diatur secara hirarkial. Dia menekankan nilai penting dari sosialisasi dan prioritas dari pengalaman hidup kita terhadap rasionalisasi dan thematisasi kita dari norma-norma dan ketgori-kategori sosial yang berbeda persepktif ini, yang berusaha untuk mengintegrasikan tema Heideggerian dari keutamaan keberadaan kita di dunia dengan metode-metode ilmu sosial tradisional, memberikan sebuah model dominasi simbolik berdasarkan pada disposisi tanpa sadar ditanamkan melalui partisipasi dalam interaksi-interaksi rutin daripada melalui proses-proses kognitif yang dianggap berasal pada subjek rasional.
Dalam pandangan Giddens, para agen sosial dan struktur-struktur sosial merepresentasikan sebuah proses reproduktif yang diatur secara spasial dan temporal dimana masyarakat menyediakan sumberdaya-sumberdaya untuk mengatur kehidupan sosial dari para anggotanya sementara para anggotanya menggunakan sumberdaya-sumberdaya tersebut pada gilirannya untuk menghasilkannya. Ide tentang ciri-ciri struktural dari sistem-sistem sosial sebagai media dan hasil dari praktek-praktek yang mereka atur secara rekursif – prinsip Giddens tentang “dualitas struktur” – adalah konsisten dengan perspektif dari para antropolog linguistik yang melihat tuturan / bicara tidak hanya sekedar sebagai media untuk representasi dari sebuah realitas yang bebas bahasa tapi juga sebagai sebuah sumberdaya yang ada dimana-mana untuk merepreduksi realitas sosial, dan oleh karena itu hubungan-hubungan dari power dan dependensi yang ada.
Karya Gidden pada regionalisasi, dijelaskan sebagai “pen-zona-an dari ruang-waktu dalam kaitan pada praktek-praktek sosial yang dirutinkan” (Giddens 1984: 119) secara khusus relevan dengan apa yang para antropolog linguistik terlibat di dalam analisis tentang bagaimana bicara dan sumberdaya-sumberdaya material, termasuk lingkungan yang dibangun dan artifak-artifak yang ada lainnya, digunakan oleh para penutur dalam praktek komunikasi dan interaksi sehari-hari mereka (lihat bagian 9.6.). Mensintesiskan karya sebelumnya oleh Teun Hagerstrand dan rekan, Giddens memberikan perhatian tentang bagaimana ruang hidup / tempat tinggal seperti rumah misalnya adalah sebuah locale, sebuah tepat yang menjadi “sebuah ‘stasiun’ untuk sejumlah besar kelompok interaksi dalam jalannya suatu hari tertentu. Rumah dalam masyarakat-masyarakat kontemporer pun diregionalisasi menjadi lantai, ruangan, aula. Tapi berbagai ruangan dari rumah pun dizonakan secara berbeda dalam waktu serta dalam ruang” (1984: 119).
Ruang adalah bidang studi yang pervasif dan metafora bagi pemikiran sosial yang digunakan oleh Foucault dalam pembahasannya tentang hubungan antara pengetahuan dan power/kekuasaan. Bagi Foucault abad sembilan belas adalah terobsesi dengan sejarah dan oleh karenanya juga dengan waktu dan abad duapuluh akan dikenal sebagai masa ruang (Foucault 1980b; Soja 1989). Untuk memahami bagaimana pengetahuan tidak pernah netral dan selalu merupakan sebuah bentuk power, Foucault menyarankan bahwa kita menganggapnya dalam pengertian konsep-konsep spasial seperti “region / wilayah, domain / ranah, implantasi, pergeseran / displacement, transposisi” (1980b; 69). Saat kita sudah memulainya, kita akan dihadapkan pada konotasi-kontasi politis dan militeristik dari istilah-istilah tersebut dan kita kemudian akan menyadari bahwa konotasi-konotasi tersebut bukanlah aksidental. Hal tersebut berhubungan pada kerangka-kerangka referensi yang memberitahu kita mengenai bagaimana kita memahami dan menggunakan bahasa di dalam institusi-institusi tertentu.
Foucault menggunakan istilah “wacana / discourse” sebagai sesuatu yang lebih besar daripada sebuah teks atau sebuah rangkaian tindak tutur. Discourse, bagi Foucault, adalah sebuah cara tertentu untuk mengatur pengetahuan melalui tuturan tapi juga melalui sumberdaya dan praktek semiotika lainnya (misalnya cara mengkonseptualisasi dam menginstitusionalisasi higiene di Perancis abad delapan belas) – pemakaian ini menjelaskan mengapa Foucault membicarakan wacana / discourses (secara jamak). Perluasan makna dari istilah “discourse” ini memiliki konsekuensi yang penting untuk siapapun yang tertarik dalam hubungan antara bahasa dan konteks, dengan adanya bahwa hal ini menarik perhatian pada fakta bahwa pemakaian tertentu sebuah bahasa, tindak tutur tertentu (lihat bab 7), pergantian rangkaian ( lihat bab 8), dan kerangka-kerja tertentu (lihat bab 9) dihubungkan pada pengaturan spatio-temporal tertentu sedemikian rupa sehingga para penutur memiliki akses pada satu sama lain dalam konfigurasi-konfigurasi spasial terbatas dan untuk periode waktu yang terbatas. Terakhir, penekanan pada discourse ini sebagai teknologi pengetahuan membuat kita sadar akan peran bahasa dalam usaha-usaha institusional (di sekolah, rumah sakit, penjara) untuk mengatur dan oleh karenanya untuk mengendalikan kehidupan pribadi dari para anggota masyarakat, termasuk konseptualisasi mereka tentang diri, identitas etnis dan relasi/hubungan gender.
1.3.1 Antropologi linguistik dan sosiolinguistik
Diantara disiplin-disiplin ilmu dalam ilmu sosial dan humaniora yang mempelajari komunikasi, sosiolinguistik adalah yang paling dekat dengan antropologi linguistik. Faktanya, melihat kembali pada sejarah dari kedua disiplin ilmu tersebut, kadangkala sulit untuk membedakan keduanya. Meskipun para sosiolinguis mengguakan metode-metode kuantitatif dan cenderung bekerja dalam lingkungan-lingkugan urban / kotasedangkan sebagian besar antropolog linguistik menggunakan metode-metode kualitatif dan cenderung bekerja dalam masyarakat-masyarakat skala kecil, keseluruhan tujuan dari agenda kedua penelitian tampaknya serupa bagi orang diluar disiplin ilmu ini – khususnya ketika para antropolog semakin memindahkan perhatiannya pada konteks-konteks urban. Beberapa perbedaan dari kedua disiplin ilmu ini ada kaitannya dengan sejarahnya. Antropologi linguistik adalah salah satu dari empat sub-bidang dari antropologi ketika disiplin ini secara resmi dinyatakan oleh Boas dan para koleganya pada awal abad sembilan belas (lihat bagian 3.1). Sosiolinguistik muncul dari dialektologi urban pada akhir 1950an dan awal 1960an. Kedekatan kedua disiplin ini sebagian meningkat pada tahun 1960an dan 197an oleh beberapa usaha untuk menggabungkan keduanya, termasuk usaha yang dilakukan oleh Dell Hymes guna mendefinisikan sebuah bidang interdisipliner yang berpusat disekitar pemakaian bahasa. Hal ini tampak dalam pendahuluan pada koleksi-nya Gumperz dan Hymes (1964), dimana Hymes berusaha keras menyusun bidang dari etnografi komunikasi dengan menciptakan hubungan-hubungan dengan hampur semua hal yang dapat dipikirkan saat itu bahkan relevan secara marjinal pada studi tentang antar-muka / interface antara bahasa dan budaya atau bahasa dan masyarakat. Ketika kita mengamati artikel-artikel dan para penulis yang tercantum dalam koleksi 1964, kita menemukan bidang-bidang berikut ini direpresentasikan: linguistik sosiologikal (Bernstein), folklore (Arewa dan Dundes), sosiolinguistik interaksional (Ervin-Tripp), sosiolinguistik komparatif (Ferguson), etnosains dan antropologi kognitif (Frake), linguistik historikal (Malkiel), sosiolinguistik kuantitatif (Labov), dan sosiologi(mikro) interaksional (Goffman). Dalam koleksi selanjutnya (Gumperz dan Hymes 1972), kami menemukan beberapa dari para penyumbang yang sama dengan beberapa penambahan, terutama, komunikasi non-verbal (atau kinesik), disajikan oleh Birdwhistell, dan sekolah etnometodologikal, disajikan oleh Garfinkel, Sacks dan Schegloff.
Gumperz dan Hymes membantu membentuk hubungan-hubungan dan kolaborasi-kolaborasi intelektual yang terus menjadi bagian penting dari antropologi linguistik sebagai sebuah bidang interdisipliner, tapi mereka tidak berhasil dalam usaha untuk menciptakan sebuah bidang gabungan dimana semua penulis dan sekolah yang telah disebutkan diatas dapat mengenali diri mereka sendiri. Hal ini menjadi jelas ketika kita meneliti fokus utama dari minat teoretikal dalam antropologi linguistik dan sosiolinguistik kontemporer.
Parasosiolinguis masih meneruskan bekerja pada pilihan bahasa dan perubahan bahasa, sambil berusaha untuk terlibat dalam sebuah dialog dengan para gramarian formal, yang dengannya mereka berbagi minat yang sama dalam bagaimana cara merepresentasi kompetensi linguistik, sambil tidak saling sepakat pada kriteria untuk mengevaluasi kompetensi tersebut dan batasan-batasannya.Parasosiolinguis juga terus berurusan dengan definisi dari masyarakat tutur sebagai poin referensi untuk menyelidiki batas-batas variasi individual dalam pemakaian bahasa. Untuk pengejaran intelektual ini, studi pada fenomena seperti bahasa pidgin dan creole atau perencanaan bahasa telah terbukti sebagai tempat pengujian yang melimpah. Area-area studi lainnya, seperti register tutur, bahasa dan gender, tindak tutur, dan wacana / discourse, seringkali dibagi bersama dengan para antropolog linguistik dan oleh karenanya telah memberikan kesempatan untuk lintas-fertilisasi antara kedua disiplin ilmu ini. Sebagai tambahan pada nilai penting dari konsep kultural (lihat bab 2), yang ini saja membuat metode-metode dan sasaran-sasaran teoretikal antropologikal cukup berbeda dari penelitian sosiolinguistik, ada sejumlah perhatian teoretikal yang telah dikembangkan secara lebih unik terkait dengan karya dari para antropolog linguistik. Saya akan membahas tiga hal dari perhatian ini dalam bagian-bagian selanjutnya.
1.4 Perhatian-perhatian teoretikal dalam antropologi linguistik kontemporer
Adatiga area teoretikal utama yang telah dikembangkan dalam antropologi linguistik dalam beberapa dekade terakhir. Masing-masing dari area ini didedikasikan untuk pemahaman salah satu dari ide-ide analitikal berikut ini: (i) performance, (ii) indeksikalitas, dan (iii) partisipasi. Sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan berikut, ketiga ide ini adalah saling berhubungan.
1.4.1 Performance
Konsep tentang performance diambil dari sejumlah sumber dan oleh karenya dapat diinterpretasikan dalam sejumlah cara. Kita dapat menggunakan istilah yang berasal dari karya teoretikalnya Noam Chomsky dan perbedaan yang dilakukannya dalam Aspects of the Theory of Syntax (1965) antara competence dan performance. Perbedaan ini sebagian terinspirasi oleh perbedaannya de Saussure antara langue dan parole (Saussure 1959), dimana yang pertama adalam sistem sebagai sebuah keseluruhan, independen / bebas dari pemakaian tertentu oleh para penutur tertentu, dan yang kedua adalah bahasa dari pemakai tertentu dari sebuah sistem. Dalam konteks ini, competence menggambarkan kapasitas untuk bahasa, yaitu, pengetahuan – sebagian besar bawah-sadar – yang dimiliki oleh penutur asli dari prinsip-prinsip yang mengijinkan untuk interpretasi dan pemakaian dari sebuah bahasa tertentu. Performance, sebaliknya, adalah pemakaian aktual sebuah bahasa dan tidak hanya tampak oleh Chomsky sebagai dasar dari competence tapi juga mengikuti prinsip-prinsip seperti perhatian, persepsi dan ingatan yang tidak perlu untuk dibangunkan untuk pemahaman tentang competence sebagai pengetahuan abstrak yang dimiliki para penutur mengenai pemakaian bahasa mereka. Competence dalam kasus ini adalah pengetahuan dari sebuah bahasa yang dimiliki oleh seorang penutur ideal. Performance sebaliknya adalah penerapan dari pengetahuan tersebut dalam tindak tutur.
Ide tentang performance ini berbeda dari yang digunakan oleh filsuf J.L. Austin(1962) dalam kategorinya tentang performative verbs, yang menjelaskan tipe tindakan sebuah ucapan tertentu yang dicoba untuk dicapai (lihat bab 7). Dalam ucapan Saya memerintahkan kamu untuk meninggalkan ruangan ini diucapkan oleh seseorang yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan perintah tersebut pada orang lain yang berada dalam posisi untuk melaksanakan perintah tersebut, kata-kerja order / memerintahkan tidak mendeskripsikan apa yang diyakini oleh si penutur sebagai hal yang benar tentang realitas yang ada secara independen. Ini malahan merupakan sebuah usaha untuk mempengaruhi realitas, dengan membuatnya sesuai dengan harapan / ekspektasi dan keinginan si penutur. Ini adalah sebuah contoh dari cara-cara dimana kata-kata melakukan sesuatu. Bagi Austin, ternyata, semua ucapan memang melakukan sesuatu, bahkan yang tampaknya hanya sekedar menunjukkan keadaan (langitnya biru). Ucapan ini melakukan kerja pemberian informasi.
Tidak dipertanyakan lagi bahwa para antropolog linguistik berminat dalam apa yang dilakukan oleh para penutur dengan bahasa. Dalam hal ini, karya mereka dapat dilihat jelas masuk dalam ide Chomsky tentang performance sebagai “pemakaian sistem linguistik” atau dalam ide Austin tentang performance sebagai “melakukan sesuatu dengan kata-kata”. Namun, baik salah satu dari pemahaman ini yang menarik minat para antropolog linguistik dalam hal performance akan meninggalkan hal yang ketiga dan sama pentingnya, yang berasal dari studi-studi folklore, puisi, dan secara lebih umum, seni (Bauman 1992b; Bauman dan Briggs 1992; Palmer dan Jankowiak 1996). Performance dalam pengertian ini mengacu pada sebuah ranah dari tindakan manusia dimana perhatian khusus diberikan pada cara-cara dimana tindak-tindak komunikatif dilakukan. Perhatian spesial pada bentuk pesan ini adalah apa yang oleh Roman Jakobson (1960) sebut sebagai “fungsi puitis” dari tuturan (lihat bagian 9.2. Performance adalah “sesuatu yang kreatif, disadari, dicapai” (Hymes 1981: 81). Ini adalah sebuah dimensi dari kehidupan manusia yang paling tipikal ditekankan dalam musik, teater, dan tampilan-tampilan publik lainnya mengenai kreativitas dan kemampuan artistik. Hal ini misalnya dapat ditemukan dalam perdebatan verbal, bercerita, menyanyi, dan aktivitas tutur lainnya dimana apa yang diucapkan oleh para penutur dievaluasi menurut norma-norma estetika, yaitu, untuk keindahan dari jeda atau penyajiannya, atau menurut efek yang ditimbulkannya pada audiens, sebut saja, untuk kemampuannya dalam “menggerakkan” audiens (Briggs 1988). Tapi ide tentang performance ini juga dapat mendeskripsikan apa yang seringkali ditemukan dalam kebanyakan pertemuan-pertemuan biasa, ketika para aktor sosial menunjukkan perhatian tertentu pada dan keahlian dalam pemberian pesan. Untuk menganut pada dan fokus pada ide lain tentang performance ini adalah lebih dari sekedar rekognisi tentang fakta-fakta bahwa dalam bertutur akan selalu ada sebuah dimensi estetika, dipahami sebagai sebuah tujuan untuk membentuk apa yang sudah dikatakan. Ini juga berarti untuk menekankan fakta bahwa berbicara / bertutur itu sendiri selalu menyiratkan sebuah paparan pada pertimbangan, reaksi, dan kolaborasi dari audiens, yang menginterpretasikan, menilai, menyetujui, memberi sanksi, memperluas atau meminimalisir apa yang telah dikatakan (Duranti dan Brenneis 1986). Dalam arti lain dari performance, sebagai tambahan pada dimensi akuntabilitas, juga ada dimensi resiko atau tantangan (Bauman 1977). Bahkan seorang penutur yang paling kompeten dapat mengatakan kata yang salah pada saat yang salah sama seperti para aktor terbaik dapat salah memperhitungkan jeda atau seorang penyanyi opera dapat gagal mengendalikan pitch / puncak dari suaranya. Dimensi dramatis dari performance verbal dikenali dalam sejumlah pendekatan dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk penggunaan Goffman tentang metafora-metafora dramaturgi seperti aktor, panggung, latar-depan/latar-belakang, frame dan kritisisme Bourdieu (1977) dari paradigma-paradigma objektivis dalam antropologi yang, berusaha untuk mengeja / menjelaskan “logika” dari tindakan manusia, melewatkan nilai penting dari apa “yang tidak diketahui” – dengan tegangannya dan ketidakpastiannya – selama fase-fase berbeda dari sebuah p ertukaran (lihat bagian 2.1.5).
Performance dalam hal ini adalah sebuah dimensi pemakaian bahasa yang selalu ada karena ini adalah sebuah dimensi evaluasi bahasa uang selalu ada dan tidak ada pemakaian tanpa evaluasi. Kita secara konstan dievaluasi oleh para pendengar kita dan oleh diri kita sendiri sebagai pendengar kita sendiri.
Terakhir, ide tentang performance menyiratkan sebuah ide tentang kreativitas (Palmer dan Jankowiak 1996) dan improvisasi (Sawyer 1996). Hal ini ditemukan pada segala jenis aktivitas tuturan dan peristiwa-peristiwa tuturan, dari yang paling diritualkan dan formal hingga yang paling biasa dan awam. Di dalam tradisi NorthYemeni yang dipelajari oleh Steven Caton, keahlian sang penyair dalam performance aktial tidak hanya untuk mengutip syair-syair yang dihapal, tapi untuk “meletakkan performance dalam seting konkretnya dengan sedikit rincian tentang referensi dan alamat” (Caton 1990: 106). Hal ini berarti bahwa penyair harus tahu bagaimana menghubungkan syair-syair tradisional pada saat sekarang. Hal ini adalah benar secara umum tentang performance lisan. Salah satu dari ciri seorang orator ulung di dalam masyarakatSamoaadalah mengetahui apa yang harus dicantumkan dan apa yang harus ditinggalkan dari sebuah tuturan sambil menghubungkan metafora-metafora dan pepatah-pepatah yang sudah sangat dikenal pada saat tuturan tersebut dilangsungkan, termasuk nama dan gelas dari orang yang hadir.
Untuk menjadi seorang penutur yang fasih dari sebuah bahasa berarti harus mampu untuk masuk pada percakapan apapun dalam cara-cara yang tampaknya tepat dan tidak mengganggu. Keahlian percakapan / conversational semacam ini, yang biasanya kita anggap remeh (hingga kita mendapati seseorang yang tidak memilikinya atau mengabaikan dampak-dampak sosialnya) adalah tidak berbeda dari cara-cara dimana seorang musisi jaz ahli dapat masuk pada komposisi seseorang, dengan menghiasinya, bermain-main dengan motif utamanya, menekankan beberapa unsur dari melodi pada unsur lainnya, mengutip terjemahan dari bagian yang sama yang dilakukan oleh musisi lain, dan mencoba hubungan-hubungan harmonis berbeda—semua ini dilakukan tanpa kehilangan arah dari apa yang oleh semua orang lihat dilakukan dalam band (Berliner 1994).
1.4.2 Indeksikalitas
Parafilsuf telah lama mengetahui bahwa ada bermacam-macam tanda yang berbeda. Immanuel Kant, dalam bukunya Anthropology from a pragmatic point of view ([1798] 1974), membedakan antara tanda-tanda arbitrer dan natural. Huruf-huruf yang merepresentasikan bunyi-bunyi linguistik akan menjadi sebuah contoh dari bunyi arbitrer. Tidak ada hubungan yang diperlukan antara bentuk dari huruf tertentu dan kualitas dari suara atau suara-suara untuknya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh fakta bahwa bunyi yang sama dapat direpresentasikan oleh huruf-huruf yang berbeda dalam alfabet yang sama atau dengan simbol-simbol yang berbeda dalam tradisi-tradisi ortografik yang berbeda (misalnya Latin vs. cyrillic). Sebuah huruf merepresentasikan sebuah suara/ bunyi dan dapat memunculikan tersebut dalam seorang pembaca karena sebuah konvensi telah ditetapkan dan diterima oleh sebuah masyarakat. Pada sisi lain, asap memberitahu kita bahwa ada api adalah sebuah tanda yang tidak ditetapkan oleh konvensi, tapi oleh pengetahuan tentang fenomena natural yang terjadi berulang. Ada sebuah hubungan dalam kaitan antara tanda (asap) dan fenomena untuknya (api). Berdasarkan keyakinan bahwa “jika ada asap, pasti ada api”, seseorang yang melihat asap dapat menyimpulkan bahwa asap tersebut dapat berasal dari api didekat situ. Asap tidak “sebagai ganti” api dalam cara dimana kata api dapat digunakan untuk menceritakan sebuah kisah tentang kejadian masa lalu. Asap aktual pun dikaitkan, secara spasio-temporal dan fisikal, pada fenomena terkait lainnya dan mendapatkan “makna” dari hubungan spasio-tmporal dan fisikal. Dimulai dari pengamatan-pengamatan serupa, seorang filsuf Amerika Charles Pierce menyebut asap sebagai indeks dan membedakannya dari tanda-tanda yang benar-benar arbitrer (simbol) dan tanda yang berusaha untuk mereproduksi beberapa aspek dari referen-nya (ikon) (lihat bagian 6.8). Indeks (atau index, sebagaimana yang lebih dipilih oleh para cendekia dewasa ini) adalah tanda-tanda yang memiliki semacam hubungan eksistensial dengan apa yang diacunya (Burks 1949). Kategori ini dapat dengan mudah diperluas pada ekspresi-ekspresi linguistik seperti misalnya kata-ganti demonstratif ini, itu, disana, kata-ganti personal seperti aku dan kamu, ekspresi-ekspresi temporal seperti sekarang, kemudian, kemarin, dan ekspresi spasial seperti atas, bawah, diatas, dibawah. Ciri dari ekspresi ini telah disebut sebagai indeksikalitas dan telah terbukti pada berbagai komunikasi linguistik.
Pemakaian bahasa adalah penuh dengan contoh ekspresi-ekspresi linguistik yang dihubungkan pada atau menunjuk ke arah aspek-aspek dari konteks sosiokultural.
Di dalam citraan topologikal, indeksikalitas adalah definisi yang kita sebut sebagai konsep radial atau koordinasi-kutub dari hubungan semiotika: wahana-tanda indeksikal menunjuk dari sebuah asal usul yang ditetapkan di dalam, oleh dan “pada” kejadiannya sebagai “pusat” disini-dan-sekarang atau ekorl, sebagaimana adanya, sebuah anak panah semiotika. Pada terminus dari jalur radial, atau sasaran-panah, adalah objek indeksikal, tidak peduli dimensi-dimensi perseptual dan konseptual atau ciri-ciri dari hal-hal yang diindekskan. Dikendalikan oleh kebijakan dari semiosis indeksikal, “ruang” yang mengelilingi wahana-tanda indeksikal adalah besar (atau kecil) yang tak terikat, yang dapat dikarakterisasi dalam banyak dara berbeda secara tak terikat, dan penetapan indeksikalnya (sebagaimana dibuat menjadi ada) hampir benar-benar secara tanpa batas tak dapat dihentikan. (Silverstein 1992: 55).
Maka, sebuah ekspresi seperti meja ini mencakup sebuah anak panah imajiner pada sesuatu yang dapat dikenali, kebanyakan sesuatu yang secara perseptual tersedia bagi penutur dan mitra tutur. Ketersediaan ini, namun, tidak perlu bersifat langsung. Misalnya, sebuah kata atau ekspresi dapat digunakan untuk meng-indeks pengalaman masa lalu atau masa depan. Penggantian kode seringkali digunakan sebagai sebuah indeks dari jenis ini. Dengan mengucapkan sebuah kata dalam bahasa lain, para penutur dapat menunjukkan pada waktu atau tempat lain, yang mana dirinya atau mitra tuturnya pernah berada disana. Dalam komunitas-komunitas bilingual, dimana penggantian bahasa adalah kegiatan sehari-hari, pilihan bahasa tertentu tehadap bahasa lainnya dapat meng-indeks etnisitas seseorang atau pendirian politik tertentu terhadap hubungan antara bahasa dan etnisitas. Dalam kasus ini, misalnya, di Quebec, Kanada (Heller 1982, 1995). Di dalam percakapan telepon berikut ini, misalnya, pemakaian bahasa Perancis oleh seoran pasien yang menelpon meja resepsionis di sebuah rumah sakit diinterpretasikan sebagai sebuah indeks tentang pilihan pasien untuk menggunakan bahasa Perancis daripada bahasa Inggris:
(1)   Petugas : Central Booking, bisa saya bantu?
Pasien : Oui, allo?
Petugas : Bureau de rendez-vous, est-ce que je peux vous aider?
(dari Heller 1982: 112)
Karena implikasi politisnya, namun, tawaran pilihan antara kedua bahasa tersebut dapat ditentang, sebagaimana dalam contoh kasus berikut ini:
(2)   Pelayan : Anglais ou francais, bahasa Inggris atau bahasa Perancis?
2 Bilingual : Bien, les deux…
“Yah, keduanya …”
Pelayan : No, mais, anglais ou francais?
“Tidak, tapi, bahasa Inggris atau bahasa Perancis?”
2 Bilingual : Itu tidak penting, c’est comme vous voulez.
“terserah kamu.”
Pelayan : (mengeluh) OK,OK, aku akan kembali semenit lagi.
(dari Heller 1982: 116
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa indeks-indeks berkisar mulai dari pertanyaan yang tampak tak berbahaya (anda dapat berbahasa Perancis?) hingga komitmen-komitmen politik (kamu ada dipihak mana?). Untuk alasan ini, adalah penting untuk membedakan diantara bermacam jenis atau tingkpat indeksikalitas yang berbeda. Misalnya, Silverstein (1976b) menyarankan bahwa indeks ini adalah sekedar pra-anggapan terhadap eksistensi dari sebuah referen yang dapat diidentifikasi. Kata-ganti kamu, pada sisi lain, melakukan sesuatu lebih dari sekeda menyiratkan eksistensi dari seorang mitra tutur, kata tersebut secara aktual membuat kategori sosial dari “addressee/recepient” yang terjadi atau setidaknya dicatat. Seseorang tidak secara resmi menjadi seorang addressee/yang-disebut hingga dia disebut kamu (sedangkan meja sudah ada disamping si penutur sebelum dia mengatakan “ini”). Bahasa-bahasa yang secara sosial telah membedakan antara kata ganti orang kedua (misalnya tipe pembedaan T/V klasik dari sebagian besar bahasa Eropa, bahasa Perancis tu/vous, bahasa Spanyol tu/Usted, Bahasa Jerman du/Sie, dan bahasa Italia tu/Voi, atau tu/Lei) mengeksploitasi lebih lanjut ciri-ciri indeksikal dari kata ganti personal dengan menggunakannya sebagai penunjuk terhadap koordinat-koordinat sosial yang secara kontekstual relevan tentang kesamaan/ketidaksamaan, solidaritas/power (Brown dan Gilman 1960). Ini adalah indeks yang oleh Silverstein (1976b) sebut sebagai “secara maksimal kreatif atau performatif”. Cara-cara dimana kita menjelaskan dunia disekitar kita adalah bagian dari penyusunan dunia tersebut. Adalah aspek kreatif dan performatif dari indeksikalitas ini yang digunakan oleh para penutur dalam menyusun identitas etnis dan gender (Gumperz 1982a, 1982b; Hall dan Bucholtz 1995). Untuk mengatakan bahwa kata-kata secaa indeksikal terkait pada sejumlah “objek” atau aspek dari dunia diluar sana berarti bahwa untuk mengenali kata-kata tersebut didalamnya terdapat sebuah power yang melampaui deskripsi dan identifikasi mengenai orang, benda, ciri-ciri dan peristiwa. Hal ini berarti untuk mengidentifikasi bagaimana bahasa menjadi sebuah alat yang dengannya dunia sosial dan kultural kita secara konstan dideskripsikan, dievaluasi, dan direproduksi. Menurut Gumperz, kerja interaksional ini dilakukan melalui sebuah cakupan yang luas mengenai isyarat-isyarat kontekstualisasi, sebuah tanda indeksikal sub-kelas yang membuat orang menjadi tahu apa yang terjadi pada situasi tertentu dan bagaimana interaksi-interaksi tersebut diharapkan untuk berlanjut (lihat bagian 6.8.2.2). karena isyarat-isyarat kontekstualitas terdistribusi secara tidak merata dalam populasi manapun, indeksikalitas adalah sebuah aspek penting mengenai bagaimana relasi-relasi power dan dinamika-dinamika power dimainkan dalam pertemuan institusional dimana sebuah kelompok minoritas dihadapkan dengan seperangkat indeks baru:

No comments:

Post a Comment